Literatura Nusantara

Membumikan Sastra Melangitkan Kata

Puisi-Puisi Hegar Krisna Cambara

[Sumber gambar: AI)

Penulis: Hegar Krisna Cambara





melipat ada

mutisma. mencipta metafor.

aku adalah metafora itu sendiri.

diselimuti asosiasi bebas.

lelap dalam pandangan. bersayap tetapi merangkak.

tak lagi bisa mengenali air muka sendiri,

ribuan wajah berusaha memasukiku.

tengah berada dalam sebuah arena ilusi.

sebuah pengulangan.

bukankah sebuah pengulangan itu kadang kala membuat sesuatu menjadi bernilai lebih?

meski pada akhirnya kita diantarnya pada

pintu kebosanan.

benarkah hidup merupakan sebuah pengulangan?

semua yang ada bukan terjadi begitu saja,

tidak ada kebetulan di dunia ini

yang ada adalah takdir itu sendiri.

ah… hidup bukanlah untuk menopang dagu

atau kedua telapak tangan bertemu dengan tepi meja.

kulempar pandangan ke luar jendela.

gerimis masih setia menertawakanku.

bahkan, cermin berpaling dariku.

kuserahkan tubuhku pada gerimis.

berjalan tanpa alas kaki.

ada bocah terjatuh, lalu memegang lututnya,

sedikit berdarah.

“senang melihatmu lagi, hari ini hujan.” ucap

sebuah tiang lampu padaku.

seekor anak kucing mengeong di bawahnya.

kugendong.

matanya melihatku iba. aku tidak tahu apa isi tatapannya. sesuatu yang di dalam itu

hanya dapat diterka oleh nalar dan rasa.

aku merasa seperti terapung terbawa hanyut saja.

seperti sebilah kayu yang tidak pernah mengerti kenapa ia terapung dan ke mana ia akan hanyut.

binar matanya membuatku pecah,

kolase mengada,

begitu melelahkan,

aku tidak tahu apa ini juga klise?

mencari gelap,

berharap ruang reka lebih baik daripada

menatap bayang sendiri mencekik diri.

aku melihat tuhan di matanya yang kelereng.

2015





apriori menunggu reda

korosif jiwa meradang di gelanggang raga serupa kanker.

dulu, sekuat besi kini serapuh randu.

langit menangis deras,

matahari dipaksa pejam oleh gemawan.

angin memecah senyap dalam gelisah yang rayap.

saya tidak butuh cuka untuk membilas duka,

lara meraja bermahkota tiara.

bila hidup adalah arena dera dan lara yang berjaya,

untuk apa meraga? dunia bukanlah piala,

jenaka sunyi dalam katalog asa.

mengapa diragakan bila untuk diragukan?

kopi di gelas belum habis,

televisi menertawakan pintu rumah yang telah lama rusak.

tabung gas di dapur sudah bangkai sejak subuh.

kompor berkabung bersama ceret dan tanak nasi yang gagal matang.

banyak arca di rumah ini, dibatukan waktu.

diam berarti terkubur bersama gagap kurikulum rumah.

detik jarum adalah perangkap, serupa jerat yang mengikat

sekaligus provokatif.

semua hal transit dalam kepala, stasiun kecil bagi resah rumah.

lalu lintasnya sesak merenggut udara

di semesta kepala.

dilema,

sinkronisasi gagu antara isi kepala dan lari waktu.

tak pernah bertemu di suatu sumbu,

koordinat jejak yang hilang peta di kuardan dunia.

saya belum menemukan lengkung vertikal menujuNya.

bagaimana bisa bertemu titik itu bila hanya berjejak

ordinat horizontal.

garis cakrawala itu ilusif, fana, dan profan.

hei, kumandang adzan bukanlah dengung.

repetitif alun dari setiap menara masjid

pada saat yang sudah ditentukan.

itu seruan untuk menapak jejak vertikal menujuNya.

buatlah bahtera seperti yang dibuat Nuh.

menjadi gila sewaktu tak apa, kau terlahir fana!

2015


Eksplorasi konten lain dari Literatura Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *