
[Sumber gambar: indonesiakaya.com]
Penulis: Neng Alismi Anjarwati
Novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis merupakan salah satu novel klasik yang diterbitkan di Balai Pustaka, cetakan pertama novel ini pada tahun 1928 dan cetakan ke-46 pada Januari 2025. Melalui novel ini, pengarang menggambarkan potret kesenjangan bangsa Barat dan Timur pada zaman dahulu. Kesombongan bangsa Barat dengan segala pengetahuannya yang ingin dipertuan oleh bangsa Timur. Selain itu, pengarang juga ingin menyampaikan bahwa hendaknya kita tetap bersifat dan berbudi orang Timur meski telah menempuh pendidikan bersama orang Barat. Walaupun cerita dalam novel ini berlatar pada awal abad-20, namun hingga kini cerita dalam novel tersebut masih relevan, yaitu persoalan mentalitas anak muda yang masih banyak tergiur oleh budaya Barat dan hampir melupakan budaya Timur (Indonesia).
Secara lebih mendalam lagi, novel “Salah Asuhan” mengisahakan tentang pemuda Indonesia bernama Hanafi yang mendapat pendidikan Belanda, lebih bangga hidup dalam pergaulan Eropa dan merasa tidak setara dengan orang-orang adat Minangkabau. Hanafi sukar dan tidak senang berhadapan (Bergaul) dengan orang adat Minangkabau, hanya ibunya saja orang adat Minangkabau yang masih bergaul dengan Hanafi. Ia bersekolah di HBS, Betawi yang merupakan sekolah elit pada zaman Hindia Belanda, pendidikan yang hanya bisa ditempuh oleh bangsa Eropa, Tionghoa dan elit pribumi. Pendidikan yang membuatnya semakin terbuai dalam pergaulan bangsa Eropa, yang membuatnya menganggap rendah orang adat Minangkabau dan merasa keberatan apabila ia dianggap sebagai bumiputra (Pribumi). Dalam novel ini digambarkan juga kisah cinta Hanafi yang begitu rumit, ia ingin sekali menikahi Corrie yang merupakan seorang bangsa Eropa, namun ia harus menikahi perempuan pemberian ibunya sebagai tanda ia membayar utang atas biaya pendidikannya di Betawi. Pernikahan itu tidak pernah diinginkannya, keangkuhan Hanafi membuat jarak yang membentang antara ia dengan istrinya, sebagaimana tuan dengan jongosnya (pembantunya). Hanafi tetap mengharapkan Corrie menjadi istrinya, namun sikap kerasnya menjerumuskan Hanafi pada penyesalan yang membuatnya kehilangan Corrie, setelah menjadikan Corrie sebagai istrinya. Cerita dalam novel ini diakhiri dengan Hanafi yang memilih mengakhiri hidupnya dengan meminum banyak sublimat (zat beracun) setelah kembalinya ia pada ibunya dan kota kelahirannya.
Pengarang ingin menyampaikan nilai sosial budaya yang terkandung dalam novel “Salah Asuhan”. Oleh karena itu, pendekatan yang sangat cocok untuk menganalisis novel ini adalah pendekatan pragmatik. Kritik sastra dengan pendekatan pragmatik adalah sebuah kritik sastra yang bertujuan untuk menginformasikan sekaligus memberikan pengajaran sesuatu hal kepada pembaca (Laia, 2023). Pendekatan pragmatik menilai keberhasilan suatu karya dalam tujuan-tujuan tertentu seperti halnya kesenangan, estetika ataupun pendidikan bagi pembacanya. Dalam novel “Salah Asuhan” pengarang ingin menunjukkan gambaran mengenai budaya perkawinan dengan saudara sepupu di Minangkabau, serta pertentangan ‘kawin campuran’ antara bangsa Barat dan Timur.
Dalam novel “Salah Asuhan”, terdapat budaya yang ingin ditunjukkan pengarang mengenai pernikahan dengan saudara sepupu yang terdapat di Minangkabau. Masyarakat Minangkabau amat sangat memperhatikan perihal pernikahan gadis dan bujang di abad tersebut. Tidak hanya anak gadis, anak bujang pun hanya bisa menuruti keinginan para orang tuanya, sekalipun hal tersebut tidak akan membuat bahagia anak-anak mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hal tersebut disampaikan pengarang di beberapa kutipan dalam novel:
“Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain hanyalah Rapiah. Anak kakak kandung ibu. Yang seibu sebapa dengan Ibu hanya Sutan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau suka memulangi Rapiah. Pertama, adalah menurut sepanjang adat bila engkau memulangi anak mamakmu.” (Moeis, 2025:76).
“Tapi, yang sangat berarti bagi ibu, sangat susah Ibu memikirkannya, ialah karena engkau sudah lama kami pertenangkan dengan Rapiah. Kami sudah bertimbang tanda. Dan, itulah sebabnya maka mamakmu, Sutan Batuah suka merugi beratus sampai beribu buat menyekolahkan engkau. Bagaimanalah daya ibu sekarang, karena pendapat engkau tentang beristri secara itu.” (Moeis, 2025:76).
Perjodohan yang dilakukan oleh ibu Hanafi dan orang tua Rapiah sebenarnya memiliki tujuan baik. Tentu saja para orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, yang sesuai dengan adat kebiasaan atau budaya di tempat mereka tinggal. Namun dari pernikahan secara terpaksa itu, mengakibatkan kesengsaraan bagi Hanafi yang selalu merasa benci terhadap istrinya karena sifat sombongnya yang merasa tidak setara dengan istrinya, serta kesengsaraan bagi Rapiah yang selalu dicaci maki oleh suaminya sekalipun Rapiah telah sempurna menjadi pelayan bagi suaminya.
Selain pernikahan sepupu di Minangkabau, penulis juga hendak menunjukkan betapa sengsaranya ketika sepasang kekasih melakukan ‘kawin campuran’ antara bangsa Barat dengan bangsa Timur. Hal tersebut terjadi karena angkuhnya bangsa Barat yang menganggap seorang wanita bangsa Barat telah membuang diri dari bangsanya atau telah menghina bangsanya jika menikah dengan bumiputra (Pribumi). Hal tersebut ditulis pengarang dalam novel:
“Orang Barat datang kemari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil “nyai” dari sini. Jika “nyai” itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini.” (Moeis, 2025:17).
“Tapi, lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; dan dikatakan sudah “membuang diri kepada orang sini. Di dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa.” (Moeis, 2025:17).
Terjadilah kesengsaraan dari ‘kawin campuran’ itu pada Hanafi dan Corrie. Hanafi memutuskan untuk menceraikan Rapiah dan berpindah bangsa dari seorang bumiputra (Pribumi) menjadi seorang yang ingin disamakan haknya dengan bangsa Eropa. Kemudian Hanafi menikah dengan Corrie setelah pertemuannya kembali di Betawi. Namun, sejak rencana pernikahannya hingga dua tahun pernikahan itu, Hanafi dan Corrie tidak pernah berbahagia. Bangsa Barat mengucilkan Hanafi dan Corrie dimanapun mereka tinggal, baik dalam pergaulan, pekerjaan, bahkan lingkungan tempat tinggal. Mereka hanya hidup berdua saja hingga perpisahan tiba karena sifat kerasnya Hanafi. Lalu pulanglah Hanafi kepada Ibunya, setelah Corrie meninggal akibat sakit yang dideritanya. Hanafi sudah tidak diperkenankan bertemu dengan Rapiah dan anaknya lagi.
Kemudian di pertengahan cerita, pengarang hendak menyampaikan pesan kepada pembaca dalam novel tersebut. Pesan yang telah digamblangkan dalam judul, yaitu “Salah Asuhan”. Ibu Hanafi sangat menyayangkan sikap Hanafi yang terbuai begitu dalam pada pergaulan bangsa Barat. Perasaan ibu Hanafi disampaikan dalam kutipan novel:
“Jangan kau sebut jua hal ke Betawi itu, Piah. Memang sebaik-baiknya kami bercerai-cerai, sia-sia jualah bila berkumpul-kumpul. Bagaimana akan dapat minyak dibaurkan dengan air? Memang ia anak yang kukandung, kulahirkan sendiri! Darah dagingku sendiri, Piah! Tapi, apa boleh buat! Entah karena salah asuhan entah karena salah campuran, tapi anak itu sangat mengasingkan hidupnya. Berlain pemandangannya dengan kita, berlain pendapatnya, berlain perasaannya.” (Moeis, 2025:164).
Demikianlah tujuan-tujuan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca dalam novel “Salah Asuhan” ini. Dalam novel ini, terdapat masukan untuk cetakan buku berikutnya, yaitu pembaca dapat mengalami kesulitan dalam memahami bahasa yang digunakan karena masih banyak penggunaan bahasa daerah dan bahasa Belanda yang tidak terdapat penjelasannya pada catatan kaki. Sebaiknya catatan kaki lebih dilengkapi kembali atau ditambahkan glosarium, sehingga pembaca tidak bingung dengan istilah-istilah yang baru diketahui.
Tinggalkan Balasan