
[Sumber gambar: Google]
Penulis: Dena Wahyudi
Sekolah itu candu, buku kesekian yang saya baca dengan tema pendidikan. Kesan pertama membaca judulnya mungkin akan tampak sebuah gambaran seorang siswa yang kecanduan sekolah, atau kecanduan belajar di sekolah lebih tepatnya. Namun, pembaca jangan sumringah dulu, bak angin segar di tengah hutan yang lebat, kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalamnya sebelum kita masuk menjelajahi isinya bukan? Penasaran? Berikut saya paparkan berdasarkan apa yang saya tangkap dan maknai lalu diungkapkan dengan diksi yang terbatas.
Pertama, buku ini dibuka dengan prolog yang berisi narasi tentang sekolah di masa lalu. Kita sebagai pembaca, seolah disadarkan oleh penulis bahwa sekolah awal mulanya hanya aktivitas yang digunakan untuk mengisi waktu luang saja. Dalam bahasa aslinya, sekolah berasal dari kata skhole, scola, scolae, atau schola dalam bahasa latin, yang memiliki makna harfiah sebagai “waktu luang” atau “waktu senggang”. Jauh ratusan tahun sebelum menjamurnya lembaga pendidikan formal maupun nonformal seperti sekarang, sekolah hanya aktivitas yang dilakukan untuk mengisi waktu luang saja. Anak-anak berkumpul bersama orang tua dan teman sebayanya, kemudian mereka mempelajari banyak hal yang mereka sukai dan dinilai memiliki kebermanfaatan untuk hidupnya.
Lantas, mengapa muncul lembaga pendidikan formal seperti sekarang? Jawabannya satu, karena orang tua sudah tidak mampu lagi meng-handle anak-anaknya untuk belajar mengisi waktu luang tersebut. Hal ini dengan berbagai alasan, pertama, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa waktu yang dimiliki orang tua semakin terbatas sehingga mereka akhirnya mempercayakan aktivitas belajar anaknya di waktu luang tersebut untuk diisi oleh orang lain sebagai penggantinya. Kedua, orang tua merasa perlu anaknya dibimbing mempelajari suatu hal oleh orang yang benar-benar memiliki kompetensi atau ahli di bidangnya.
Hal ini tentu saja jika ditinjau dalam ilmu ekonomi ada peluang baru karena munculnya kebutuhan baru di masyarakat, yaitu seorang pengajar yang mampu mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya. Melihat peluang tersebut akhirnya
timbullah berbagai lembaga pendidikan seperti sekarang dengan berbagai keunggulan dan jaminan masa depan yang ditawarkannya. Hal ini seolah menjadi babak baru bagaimana pendidikan berkembang, namun tak sedikit juga yang berpendapat dengan maraknya lembaga pendidikan tersebut kita dapat melihat bahwa pendidikan telah kehilangan marwahnya, kini ia salin rupa menjadi suatu bidang yang dikomersilkan dan memiliki nilai jual.
Selanjutnya, buku ini menyajikan esai yang terbilang cukup pedas mengkritik ketidaksempurnaan pendidikan Indonesia. Dimulai dari ruwetnya administrasi yang harus dituntaskan oleh sekolah atau guru setiap kali menghadapi masa penerimaan siswa baru, hingga sebuah tamparan melalui ungkapan “Sekolah Telah Mati” pada akhir bagian. Kemudian, buku ini juga menyoroti tentang bagaimana pendidikan yang berkembang saat ini membawa siswa semakin menjauh dari alam. Padahal, pada masa sekolah rakyat dulu, mereka mengajarkan siswa dengan bergumul langsung dengan alam. Proses pembelajaran dilakukan hanya di sela-sela aktivitas siswa dalam bertani, memanen padi, hingga mencari kayu dan tanaman obat di hutan. Hal ini memberikan dampak yang tentunya sangat positif, tanpa mereka sadari mereka telah belajar langsung ilmu pertanian, tanaman, dan hakikat ilmu pengetahuan alam itu sendiri. Bagaimana dengan sekolah kita sekarang?
Selain itu, buku ini juga membahas tentang permasalahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terutama dalam sektor pendidikan. Pemerintah dinilai abai terhadap perkembangan pendidikan, mereka seringkali menekankan tentang revolusi pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi saat ini tanpa pernah memperhatikan perbaikan kualitas pembelajaran di dalamnya. Selain itu, melalui kebijakannya yang serampangan, pemerintah tidak bisa mengatasi hilangnya peminat di jurusan-jurusan yang berkaitan dengan prospek pekerjaan di pedesaan. Hal ini seperti minimnya mahasiswa yang memilih jurusan pertanian, peternakan, perikanan, bahkan pendidikan. Mereka lebih berbondong-bondong untuk memilih jurusan yang sifatnya prospek kerja di kota, seperti ilmu komputer, ilmu hukum, ilmu ekonomi, hingga HI atau hubungan internasional. Ada ketidakmerataan dan ketimpangan yang cukup jauh, sektor pedesaan semakin ditinggalkan, padahal apa salahnya jadi sarjana dan bekerja di pedesaan.
Babak terakhir dari buku ini mengupas tentang telah matinya sekolah. Ya, kalian tidak salah baca! Ungkapan yang cukup spekulatif dan memiliki potensi untuk didebat dan digugat, tetapi memang seperti itu keadaan memprihatikan sekolah kita. Analogi yang disajikan penulis sangat sederhana dan sangat kontekstual. Kita dapat melihatnya secara langsung bahwa semakin berkembangnya jaman semakin abai orang-orang terhadap pendidikan. Di era ini pemuda tampaknya sudah tidak tergugah lagi untuk mempalajari bagaimana sebuah apel bisa jatuh ke tanah atau mencoba menganalisis posisi bintang di angkasa, yang mereka minati adalah memiliki kepopuleran dan dikenal oleh banyak orang.
Belakangan ini cukup relate tampaknya jika penulis mengatakan orang-orang lebih peduli pada kompetisi yang menjanjikan kepopuleran, bahkan sampai sekelas pejabat saja ia rela meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan dan mengarahkan masyarakatnya untuk memberikan polling sebanyak-banyaknya agar jagoannya mampu menjadi juara. Setelah berhasil menjadi juara, kepopulerannya langsung melejit, pak pejabat dan masyarakat setempat menyambutnya bagaikan pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Lantas bagaimana dengan anak-anak bangsa yang berhasil menjadi juara di tingkat internasional dalam bidang matematika dan fisika? Mereka luput dari perhatian, bahkan di bandara saja tidak ada yang menyambutnya selain keluarga dan kedua orang tuanya. Dari sini tampaknya layak jika memang harus dikatakan bahwa sekolah telah mati, menjadi suatu hal yang sudah tidak berfungsi.
Bandung Barat, 21 Mei 2025
Penulis
Dena Wahyudi adalah seorang guru bahasa Indonesia di SMP YP Mustika Padalarang. Memiliki
ketertarikan pada sastra dan tulisan semenjak kuliah, tak sengaja tercebur pada kolam yang
benar. Saat ini sedang berusaha menjadi guru bahasa Indonesia yang baik dan benar, mencoba
menantang diri untuk lebih rutin membaca.
Tinggalkan Balasan