
Sumber gambar: AI
Penulis: Heri Isnaini
karungu sora angin janari:
neumbang haleuang tatangkalan;
“sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka”
naha enya? Nu puguh, tik-tek wekér geus lukutan
bulan tinggal bangkarakna
langit peteng satungtung deuleu
[terdengar suara angin dini hari:
bernyanyi pepohonan
“sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka”
benarkah? Yang jelas, tik-tok weker sudah berlumut
bulan menyisakan temaram
langit gelap sejauh pandangan]
(Maulana, 2008: 38)
Kutipan larik pada puisi “Leumpang Peuting” (Berjalan Malam Hari) menggambarkan salah satu kemampuan tidak biasa Soni Farid Maulana dalam menulis puisi. Ada kemampuan dalam penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Proses kreatif yang dilakukan Soni membuat puisi tersebut menjadi unik. Soni menempatkan satu bahasa menjadi dominan dan bahasa yang lain menjadi switching code (alih kode) untuk menandakan konsep puitikanya. Keunikan puisi sendiri pernah disitir Sapardi Djoko Damono (1983: 67) bahwa puisi adalah unikum, yakni hasil dari pengamatan yang unik seorang penyair. Artinya, keunikan-keunikan proses kreatif penyair dalam menulis puisi menjadi bagian dari unsur puitikanya. Puisi Soni menjadi unik karena proses kreatifnya yang unik. Dengan kata lain, Soni sedang menempatkan diri menjadi penyair yang “berbeda” dengan penyair yang lain. Hal ini diperkuat dengan kemampuan Soni berpindah dari satu budaya ke budaya lain, dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Kemampuan Soni menulis puisi menggunakan bahasa Sunda sama baiknya dengan kemampuannya menulis puisi dalam bahasa Indonesia. Itu menandakan Soni adalah penyair unik.
Alih kode yang digunakan Soni dalam puisi “Leumpang Peuting” (Berjalan Malam Hari) adalah bagian dari penghayatan atas imaji puitiknya. Pengahayatan atas puisi lebih penting dibandingkan pemahaman atas puisi. Sejalan dengan itu, Sapardi Djoko Damono (1999b: 235) menegaskan bahwa puisi bisa dihayati (experienced) sebelum dipahami (understood). Artinya, penghayatan atas puisi menempati peringkat yang tinggi dibandingkan hanya sekadar memahami. Penghayatan atas proses kreatif menjadi penting bagi penyair. Soni memahami itu, sehingga dalam beberapa puisinya proses penghayatan menjadi bagian penting dalam proses kreatifnya.
Puisi sendiri menempati nilai tertinggi dalam kehidupan Soni. Puisi adalah kehidupan baginya. Soni sendiri menyinggung puisi sebagai bentuk pengekspresikan sebentuk pengalaman dengan media kata-kata (Maulana, 2012: 246). Media kata-kata yang dimaksud Soni adalah bahasa. Dengan bahasa, Soni mampu menjadi “pribadi penyair”. Artinya, puisi-puisi Soni menjadi bagian penting dalam proses kreativitasnya dan [juga] konsep puitikanya. Keduanya sejalan beriringan menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, Soni menempatkan dirinya dan puisi sebagai mata uang yang saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Mereka menjadi satu kesatuan. Manunggal.
Pendapat Soni tentang puisi sebagai bentuk ekspresi dengan kata-kata memang tidak berlebihan karena media puisi adalah bahasa yang diejawantah dengan kata-kata. Sapardi Djoko Damono (1983: 68) mengingatkan bahwa tugas berat penyair adalah melawan kata-kata, menguasainya, memurnikannya, dan memberinya bobot. Tugas ini diemban dan dilaksanakan Soni dengan cukup baik. Soni berkenalan dengan kata-kata, mendekatinya, menguasainya, memurnikannya, dan kemudian dia memberikan bobot dengan keunikan-keunikan versi dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat pada puisi “Angin Leiden”
leumpang handapeun tatangkalan
nu taya daunan, nu oyag-oyagan diteumbag
angin peuting nu ngagelebug ti arah wétan:
bulu punduk bét muringkak. Harita,
sora tatangkalan karungu lir sora ombak laut
nu keur digaléntor ku angin taifun
[berjalan dibawah pepohonan
yang tidak berdaun, yang bergoyang diterpa
angin malam yang berhembus dari arah timur:
bulu kuduk berdiri. Waktu itu,
suara pepohonan terdengar seperti suara ombak laut
yang sedang diamuk angin topan]
(Maulana, 2008: 59)
Puisi yang ditulis Soni tahun 2008 di Leiden, Belanda, ini menunjukkan bahwa Soni sudah paripurna dengan kata-kata. Dia sudah menguasai kata-kata tersebut dan tentu saja sudah memurnikan dan memberikannya bobot yang pas sesuai dengan konsep puitikanya. Larik-larik leumpang handapeun tatangkalan [berjalan dibawah pepohonan]; nu taya daunan, nu oyag-oyagan diteumbag [yang tidak berdaun, yang bergoyang diterpa]; angin peuting nu ngagelebug ti arah wétan: [angin malam yang berhembus dari arah timur:] menunjukkan keunikan puitika Soni. Konsep unik ini melekat dalam imaji yang dibuat Soni sehingga pembaca akan ikut merasakan suasana yang dibangun melalui imaji yang diciptakan Soni. Pembaca dengan jelas ikut merasakan suasana tersebut. Suasana-suasana yang dibangun Soni ini menjadi bagian penting dalam proses kreatifnya.
Kreativitas Soni dalam menulis puisi pada akhirnya akan diapresiasi oleh masyarakat sebagai bentuk keunikan karya sastra. Sapardi Djoko Damono (1999a: 62) menegaskan bahwa kreativitas pribadi memiliki nilai khusus dan masyarakat memberikan kebebasan bagi imajinasi kreatif dan pandangan kritis. Nilai khusus dan kebebasan imajinasi kreatif yang diberikan masyarakat merupakan bagian dari konsep puitika penyair. Hal ini menunjukkan bahwa penyair memiliki keajekan dalam karya-karyanya.
Keajekan Soni dapat dilihat dari puisi-puisi yang lain, seperti pada puisi “Lagu Bulan Mei” Soni menggambarkan Peristiwa Mei 1998 sebagai bentuk perlawanan dan perang melawan kezaliman. Imaji yang digambarkan Soni adalah peperangan melawan Rahwana dalam cerita Ramayana. Berikut larik-larik puisinya.
anjeun nu perlaya ditarajang pélor pangawasa
geus cumarita yén ieu negri taya rupa
lir kendi peupeus di buruan katiga. Undakna
harga-harga, jeung amarah rahwana, éta pisan
nu dilawan ku anjeun di médan laga
1998
[engkau yang gugur ditembak peluru penguasa
sudah diceritakan kalau negeri ini tanpa rupa
seperti kendi pecah di musim kemarau. naiknya
harga-harga, dan amarah Rahwana, tepat sekali
yang engkau lawan di medan laga]
(Maulana, 2008: 46)
Puisi di atas menunjukkan keajekan Soni dalam memainkan konsep puitikanya. Konsep puitika yang dibangun Soni meliputi penggunaan kata-kata yang disebutkan Soni sebagai “sebentuk pengekspresian pengalaman”. Kata-kata bagi Soni memiliki bentuk dan posisinya sendiri dalam puisi. Kata-kata memiliki ruh yang dapat membentuk imaji karena kata-kata dalam puisi tidak dapat disubstitusi dengan kata yang lain. Mereka hidup masing-masing. Mereka memiliki kehidupan dan makna masing-masing. Dengan demikian, sebuah kata dalam puisi tidak bisa diganti dengan kata yang bersinonim. Apa pun itu. Kata “aku” dalam sebuah puisi tidak bisa serta merta diganti dengan sinonimnya, misalnya dengan kata “saya”, “beta”, “patik”, atau “gue”. Sinonim-sinonim tersebut tidak dapat menggantikan kata yang sudah dipilih oleh penyair.
Soni dan konsep puitikanya tidak hanya terlihat dalam puisi-puisinya berbahasa Sunda. Soni adalah penyair intelek. Soni dapat berubah dari satu tradisi ke tradisi yang lain. Intelektualitas Soni dapat dilihat dari penguasaan bahasa yang prima. Penyair yang baik adalah penyair yang memiliki ciri-ciri puitika seperti Soni, unik, menguasai bahasa, dan ajek. Hal ini ditegaskan oleh Budi Darma (1983: 19-20) bahwa seorang penyair yang baik mempunyai sikap hidup intelektual, yaitu sikap selalu mencari, selalu mengkaji, dan hidup dengan baik. Sikap-sikap yang disebutkan Budi Darma terdapat pada diri Soni. Konsep puitika Soni tidak hanya dapat dilihat dalam puisi-puisi berbahasa Sunda, melainkan puisi-puisi dalam bahasa Indonesia. Soni adalah penyair “ulang alik” yang mampu berpindah dari satu tradisi ke tradisi yang lain. Hal ini di dapat dilihat pada puisi “Rajah Kawali”. Berikut larik-larik puisinya.
duduk di atas kursi batu
di wilayah situs pelantikan raja-raja
di Astana Gede Kawali
di antara sela pepohonan
dan hembusan angin malam yang dingin
aku mendengar tangis orang teraniaya
(Maulana, 2004: 27)
Imaji yang dibangun Soni dalam puisi tersebut menunjukkan konsep puitika yang ajek, unik, dan penguasaan bahasa yang prima. Soni menunjukkan itu pada larik-larik puisinya. Diksi-diksi alam mendominasi puisi-puisinya. Alam bagi Soni adalah bagian dari kehidupan manusia, terutama pepohonan. Soni menulis puisi, di mana pun, diksi pepohonan selalu tampak. leumpang handapeun tatangkalan (“Angin Leiden”); di antara sela pepohonan (“Rajah Kawali”); tutuwuhan hate uing (“Sungut”); neumbag haleuang tatangkalan (“Leumpang Peuting”); ceuk anjeun rupaning tangkal (“Di Juru Waktu”); dan dalam puisi-puisi yang lainnya.
Pohon yang dalam bahasa Sunda dapat ditulis dengan tangkal, tatangkalan, dan tutuwuhan adalah sebentuk pengalaman ekspresi Soni atas imaji yang membentuk konsep puitikanya. Menelusuri dan meneroka proses kreatif Soni dalam menulis puisi membuat kita belajar atas segala pengalaman puitiknya, keunikannya, keajekannya, dan penguasaan bahasanya. Dengan membaca puisi-puisi Soni, kita akan memosisikan Soni dalam khazanah perpuisian Indonesia di tempat yang terhormat, tempat tertinggi. Soni menjadi bagian penting dari khazanah puisi-puisi Indonesia. Soni menjelma menjadi penyair yang menggugah inspirasi orang lain. Inspirasi dibangun dengan imaji-imaji dan pengalaman-pengalaman Soni melalui kata-kata dan bahasa. Hal ini terlihat pada puisi “Variasi Parijs van Java”. Pada puisi ini dapat dilihat bagaimana Soni mencoba membangun inspirasi melalui imaji dan pengalaman-pengalamannya.
dalam ingatan, sungguh, antara Soreang
Lembang: hamparan sawah berubah warna
dan rupa. Lembah dan bukit yang sejuk
adakah hanya kekal dalam buku-buku tua?
(Maulana, 2008: 40)
Konsep imaji alam yang digambarkan Soni melalui kata “lembah”, “bukit”, “sejuk”, “hamparan sawah”, “Lembang”, dan “Soreang” menjadi imaji yang dapat menggugah dan menginspirasi pembaca. Wattimea (2011: 35) menjelaskan bahwa para pencipta perubahan adalah para penyair yang dengan bahasa mereka mampu menggugah inspirasi orang untuk keluar dari zona kenyamanannya. Penjelasan Wattimea menunjukkan bahwa Soni bagian dari para pencipta perubahan. Soni menjelma menjadi sosok inspiratif melalui puisi-puisinya.
Selain itu, Soni juga terlihat sangat menguasai budaya daerahnya, budaya Sunda. Bagi Soni, budaya Sunda menjelma sebagai sebuah bangunan kreativitas yang tidak pernah roboh, dia kuat dan kokoh. Dengan kata lain, sebagai bagian dari konsep puitikanya, Soni menganggap bahwa membawakan pengalaman puitik tentang budaya menjadi sangat penting. Soni berusaha membagikan pesan-pesan melalui puisi dengan memanfaatkan budaya yang dia miliki. Sapardi Djoko Damono (2016: 32) menegaskan bahwa lewat pengisah, penyair bisa masuk ke dalam pikiran orang dan kemudian menyampaikan kepada kita apa yang ada dalam pikiran orang itu. Dengan demikian, Soni berusaha menyampaikan pesan yang ada dalam benaknya, dalam pengalamannya, dalam literasinya, dalam kontemplasinya kepada pembaca melalui kata-kata dalam puisinya. Hal ini dapat dilihat dari kekuatan budaya yang dimiliki dia dihadirkan dalam puisi. Seperti pada puisi “Si Tumang”
na atuh anjeun lain cumarita, Tumang
yén anjeun téh saestuna bapa uing? Dosa
naon nu keur dirandapan ku anjeun. Mun
beurang wujud salira sapangadeg lir anjing?
Mun tombak uing geus niruk nyawa anjeun
Bongan poé ieu taya uncal pikeun diboro,
apan Dayang Sumbi hayang jantung uncal. Duh,
jalan carita nanhaon nu keur disorang ku uing?
[kenapa kau tidak cerita, Tumang
kalau kau adalah ayahku? Dosa
apa yang kau terima. Kalau
siang wujud engkau seperti anjing?
kalau tombakku sudah mencabut nyawa engkau
sebab hari ini tidak ada kijang buruan
bukankah Dayang Sumbi ingin jantung kijang. Duh,
jalan hidup apa yang sedang kujalani?]
(Maulana, 2008: 66)
Melalui puisi “Si Tumang”, Soni membawakan legenda dalam budaya Sunda dalam wajah yang baru, wajah puisi. Soni menghadirkan legenda tersebut melalui kata-kata pilihan hasil kontemplasi dan ejawantah dari pengalaman-pengalamannya. Menurut Zoest (1991: 46) dalam karya sastra, pikiran dan isi perasaan digunakan sebagai denotata. Artinya karya sastra memiliki hak istimewa, yakni dapat menceritakan hal-hal yang tidak dapat kita ketahui dan tidak terikat pada uji kebenaran. Begitu pun Soni, dia memiliki hak denotata, hak istimewa. Soni berhasil membawa legenda “Si Tumang” dalam bentuk puisi. dalam wajah baru yang disesuaikan dengan pembaca masa kini.
Puisi “Si Tumang” yang saya terjemahkan secara bebas menjadi cerita kurang lebih “Kenapa kau tidak cerita, Tumang. Kalau kau adalah ayahku? Dosa apa yang kau terima. Kalau siang wujud engkau seperti anjing? Kalau tombakku sudah mencabut nyawa engkau, sebab hari ini tidak ada kijang buruan. Bukankah Dayang Sumbi ingin jantung kijang. Duh, jalan hidup apa yang sedang kujalani?”. Cerita “Si Tumang” dengan problematikanya menggugah Soni menjadi sosok yang “getun”. Orang yang kecewa melihat kebenaran bahwa Si Tumang adalah sosok ayah yang dicari. Kegetunan ini dieskpresikan dengan larik
Dosa naon nu keur dirandapan ku anjeun.
Duh, jalan carita nanhaon nu keur disorang ku uing?
[Dosa apa yang kau terima.
Duh, jalan hidup apa yang sedang kujalani?]
Dua larik tersebut menunjukkan bahwa kegetunan Soni diwujudkan dengan cara yang religius. Dengan tetap mengharap kepada “Gusti”, Tuhan Yang Maha Esa. Soni berserah diri padaNya dalam religiositas yang tinggi. Y.B. Mangunwijaya menegaskan bahwa “Pada awal mula, segala sastra adalah religius” (Mangunwijaya, 1988: 11). Religiositas yang dibangun Soni adalah bentuk kesadaran atas adanya kekuatan Tuhan dalam setiap peristiwa kehidupan yang dialaminya.
Dengan meneroka konsep puitika Soni Farid Maulana, kita dapat mengambil pelajaran yang sangat penting dan berharga. Konsep puitika pada puisi-puisi Soni berkelindan di antara kata-kata sebagai ejawantah bahasa dengan pengalaman-pengalamannya. Bahasa yang digunakan Soni sangat prima, dia berhasil menjadi penyair “ulang alik” yang mampu menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dengan sama baiknya. Di samping itu, keajekan puisi-puisi Soni selalu diliputi penghayatan yang baik atas imaji yang dicecap pancaindranya. Penghayatan-penghayatannya bergelayut pada tradisi dan budaya yang dicintainya. Hal ini ditegaskan oleh A. Teeuw (1980: 11) bahwa cipta sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Pendapat Teeuw ini mengejawantah dalam diri Soni. Sebagai penyair, Soni telah membuktikan bahwa konsep puitikanya adalah proses dari kontemplasi dan penghayatannya terhadap pengalaman-pengalaman yang dia cecap. Dengan demikian, patutlah kita menempatkan Soni Farid Maulana di tempat terhormat dalam khazanah penyair-penyair Indonesia.
Penulis
Heri Isnaini lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Kegiatan sehari-hari Heri adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Kota Cimahi. Selain itu, Heri juga banyak beraktivitas sebagai penulis fiksi dan nonfiksi di media massa serta menjadi editor dan reviewer di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri.
Tinggalkan Balasan