Literatura Nusantara

Membumikan Sastra Melangitkan Kata

Kwee Tek Hoay Sang Penulis Realis Boenga Roos dari Tjikembang

[Sumber gambar: Ilustrasi kwee tek hoay. tirto.id/Fiz]

Penulis: Heri Isnaini

Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886-4 Juli 1952) merupakan penulis keturunan Tionghoa yang produktif. Karya-karya yang ditorehkannya dikenal luas sampai ke dunia internasional. Selain sebagai penulis, Kwee Tek Hoay juga menjadi redaktur berbagai media massa, seperti Panorama, Moestika Romans, dan Moestika Dharma. Kelihaiannya dalam menulis membuat Kwee menjadi satu dari sedikit keturunan Tionghoa yang dapat mengeksplorasi ide-idenya melalui tulisan. Jumlah karyanya mencapai lebih dari 200 buah, termasuk naskah drama dan terjemahan dari bahasa Inggris dan Belanda.

Salah satu keistimewaan dan ciri khas Kwee adalah kemampuannya menggambarkan keadaan yang dituliskan apa adanya, tidak ditutup-tutupi, dan tidak dilebih-lebihkan. Konsep realis ini yang menyebabkan karya-karya Kwee lebih bersifat informatif faktual dari sekadar karya fiktif sehingga memungkinkan karya-karyanya lebih populer dibandingkan dengan karya-karya yang sezaman.

Salah satu novel populer yang ditulisnya adalah Boenga Roos dari Tjikembang yang pertama kali diterbitkan oleh Drukkerij Hoa Siang In Kok, Batavia, 1927.  Novel ini begitu populernya sehingga termasuk karya sastra Melayu Tionghoa yang paling banyak dicetak. Di samping sebagai novel, cerita ini juga dipentaskan, bahkan dua kali difilmkan, yaitu pada tahun 1931 dan 1976. Pada tahun 2000, mahasiswa UI mementaskan novel ini di Pusat Kebudayaan Belanda dan pada 11 Februari 2001, novel ini juga dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta atas prakarsa Yayasan Tridarma

Boenga Roos dari Tjikembang gubahan Kwee Tek Hoay merupakan novel realis yang bercerita tentang keluarga Tionghoa kaya-raya yang tidak terlepas dari masalah uang, cinta, wanita, dan kedudukan. Inilah ciri realis yang sangat kentara pada novel ini, yakni menggambarkan kisah dengan apa adanya dan sangat faktual. Gaya realis yang digunakan sangat  jelas dan singkat. Tidak ada perkataan yang mengharukan seperti umumnya terdapat pada novel-novel romantik yang seringkali dihadapkan pada kejadian yang tiba-tiba dan berlebih-lebihan.

Gaya realis yang dibangun oleh Kwee Tek Hoay dalam novel ini terdapat pada tataran latar yang tergambar pada novel tersebut. Kwee Tek Hoay menggambarkan latar tempat dengan begitu apik dan deskripsi yang disajikannya begitu nyata, tampak pada kutipan /Dalam bulan Januari antero tanah-tanah pegunungan di Preanger jadi basah tersirem oleh ujan yang turun satiap hari/. Kutipan tersebut menandakan bahwa Kwee betul-betul mengetahui persoalan dan dia sangat fasih bagaimana cara menggambarkannya. Kwee Tek Hoay ingin memberikan “informasi” mengenai latar tempat, waktu, dan suasana seperti yang tergambar pada petikan di atas. Semua yang tergambar memang sesuatu yang betul-betul realistis sesuai kenyataan tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurangi pas menurut porsi yang sesuai dengan zamannya.

Selain dari tataran latar, bahwa novel tersebut adalah novel yang realis dapat juga terlihat dari persoalan-persoalan yang terjadi pada cerita di dalamnya. Kita ketahui persoalan yang sangat realistik pada novel tersebut adalah persoalan “uang”. Uang-lah yang membuat Ay Tjeng kehilangan Marsiti, nyai yang sangat dicintainya, sehingga dia “rela” meninggalkan Marsiti hanya karena ingin “mematuhi” orang tuanya yang menjodohkannya dengan Gwat Nio demi kekayaan. Kwee Tek Hoay membuat dunia seperti yang “sewajarnya” dan “apa adanya”.

Penulis

Heri Isnaini lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono.


Eksplorasi konten lain dari Literatura Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *