Literatura Nusantara

Membumikan Sastra Melangitkan Kata

Komunikasi Pedagogis: Strategi Membelajarkan Mahasiswa

[Sumber gambar: AI]

Penulis: Diena San Fauziya

Membincang komunikasi pedagogis dalam era transformasi pendidikan saat ini bukan hanya relevan, tetapi urgen.

Di era ketika sistem pendidikan tinggi terus bergerak mengikuti perkembangan teknologi, sosial, dan budaya, komunikasi bukan lagi sekadar media penyampaian informasi, melainkan menjadi pondasi utama dalam membangun relasi akademik yang bermakna. Dalam konteks ini, komunikasi pedagogis hadir sebagai bentuk interaksi edukatif yang menghubungkan dosen dan mahasiswa secara lebih manusiawi, reflektif, dan transformasional. Bukan hanya transmisi pengetahuan, melainkan proses bersama dalam memahami, memaknai, dan menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu.

Komunikasi pedagogis adalah komunikasi yang dilakukan dengan kesadaran mendidik. Artinya, setiap ujaran, ekspresi, dan interaksi antara dosen dan mahasiswa harus dibingkai dalam semangat pedagogis—yang menjunjung empati, respek, kejujuran, serta kejelasan. Dalam komunikasi pedagogis, dosen tidak hanya bertindak sebagai sumber informasi, melainkan sebagai fasilitator, mitra dialog, dan pembimbing yang mengarahkan mahasiswa pada kemandirian berpikir. Keberhasilan belajar mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari kualitas komunikasi yang dibangun dalam ruang-ruang kelas, baik secara luring maupun daring.

Satu pernyataan ihwal “Tugas dosen bukan mengajar, tapi membuat mahasiswa belajar.” menjadi dasar pengembangan komunikasi pedagogis perlu digalakan.

Mari kita bayangkan situasi nyata dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di perguruan tinggi. Seorang dosen pengampu mata kuliah Analisis Puisi membuka perkuliahan dengan menyajikan sebuah puisi Chairil Anwar. Alih-alih langsung menjelaskan makna puisi secara tekstual, dosen memancing mahasiswa dengan pertanyaan, “Apa yang kalian rasakan ketika membaca puisi ini?” Pertanyaan tersebut membuka ruang perenungan, memungkinkan mahasiswa terlibat secara emosional dan kognitif. Ketika mahasiswa mengemukakan pendapat, dosen menanggapi dengan hangat dan memberi umpan balik yang menggugah, seperti, “Pendapatmu menarik, tapi bagaimana jika kita hubungkan dengan latar sosial penyairnya?” Inilah esensi komunikasi pedagogis: menciptakan dialog yang hidup, yang tidak menghakimi, dan yang mendorong tumbuhnya pemikiran kritis serta keberanian menyuarakan opini.

Komunikasi pedagogis juga menjadi krusial dalam membimbing mahasiswa yang menghadapi tantangan dalam menulis ilmiah. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, misalnya, sedang menyusun skripsi mengenai implementasi model pembelajaran Project based Learning dalam pembelajaran menulis cerpen. Ia mengalami kebuntuan dalam menafsirkan data. Dosen pembimbing tidak serta merta memberikan jawaban, melainkan mengarahkan dengan pertanyaan eksploratif, “Apakah kamu sudah mencoba mengimplementasikan model pembelajaran tersebut? Teori siapa yang kamu implementasikan? Coba baca kembali teori dasarnya.” Pendekatan ini memberi ruang bagi mahasiswa untuk berpikir mandiri, sekaligus menunjukkan bahwa komunikasi dalam bimbingan akademik tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga menumbuhkan cara berpikir ilmiah.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar yang diajarkan di kampus keguruan, misalnya, komunikasi pedagogis membantu calon guru memahami bagaimana cara menyampaikan materi kepada anak-anak dengan cara yang tidak membosankan dan memosisikan guru sebagai mitra belajar. Dalam kuliah tersebut, dosen memberi contoh penggunaan cerita rakyat sebagai media belajar menyimak dan berbicara, lalu meminta mahasiswa menyusun rancangan pembelajaran berbasis cerita yang relevan dengan konteks lokal. Ketika mahasiswa menyajikan rancangan mereka, dosen tidak hanya menilai benar atau salah, melainkan menggali alasan di balik pilihan mereka, mengarahkan agar mereka mempertimbangkan karakter siswa, serta menantang mereka untuk berpikir lebih kreatif. Komunikasi seperti ini membangun kepercayaan diri mahasiswa sebagai calon pendidik dan memperkuat pemahaman konseptual mereka melalui praktik nyata.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa komunikasi pedagogis yang efektif berdampak signifikan terhadap motivasi dan keberhasilan akademik mahasiswa. Setiawan dan Lestari (2023) menemukan bahwa mahasiswa yang merasa diperhatikan dan dihargai dalam proses komunikasi dengan dosen memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terlibat aktif dalam pembelajaran dan menunjukkan ketekunan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Di sisi lain, komunikasi yang otoriter, kaku, dan satu arah justru memperbesar jarak psikologis antara dosen dan mahasiswa, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kualitas pembelajaran.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, komunikasi pedagogis juga harus adaptif terhadap medium digital. Dalam perkuliahan daring, misalnya, dosen perlu membangun kehadiran pedagogis melalui sapaan personal di awal perkuliahan, penyampaian materi yang komunikatif, serta pemberian umpan balik yang membangun melalui platform digital. Yuliana dan Permana (2023) menyatakan bahwa dosen yang aktif membangun komunikasi dua arah di ruang digital cenderung lebih mampu menjaga keterlibatan mahasiswa dibandingkan dosen yang hanya mengunggah materi tanpa interaksi. Fauziya (2024) menyarikan lima aspek komunikasi pedagogis, yakni adanya kejelasan, kelancaran, kesistematisan bahasa, kualitas interaksi, dan ketertiban bahasa.

Kehadiran pedagogis juga terlihat dalam cara dosen merespons pertanyaan atau kebingungan mahasiswa. Seorang dosen Retorika, misalnya, menghadapi mahasiswa yang sulit membedakan antara gaya bahasa dan majas dalam pidato. Alih-alih menyalahkan atau mempermalukan, dosen mengulangi penjelasan dengan analogi yang lebih sederhana, seperti membandingkan gaya bahasa dengan warna dalam lukisan yang memberi nuansa, sedangkan majas sebagai teknik menggambarnya. Komunikasi ini tidak hanya memperjelas materi, tetapi juga menunjukkan kepedulian dan kesabaran dalam proses belajar.

Namun, komunikasi pedagogis bukan semata-mata tentang keterampilan berbicara. Ia menyangkut sikap dasar seorang pendidik: empati, keterbukaan, penghargaan terhadap keberagaman mahasiswa, dan kemampuan mendengarkan secara aktif. Ketika dosen memberi ruang kepada mahasiswa untuk menceritakan kesulitan mereka—baik akademik maupun non-akademik—dengan penuh perhatian, mahasiswa merasa diakui sebagai individu. Perasaan ini menumbuhkan sense of belonging yang sangat penting dalam keberhasilan studi mereka.

Di sisi lain, mahasiswa juga perlu dididik untuk menjadi komunikator pedagogis. Dalam tugas-tugas presentasi, diskusi kelas, maupun praktik mengajar, mereka perlu dibimbing untuk menyampaikan ide dengan jelas, membangun argumentasi yang logis, dan menghargai pendapat orang lain. Semua ini merupakan bagian dari kompetensi komunikasi akademik yang harus ditanamkan sejak dini dalam pendidikan tinggi.

Komunikasi pedagogis juga menjadi bagian penting dalam pembelajaran proyek (Project-based Learning). Dalam model ini, dosen bertindak sebagai pembimbing proyek, bukan sebagai instruktur tunggal. Proyek yang bersifat kolaboratif menuntut adanya komunikasi yang terbuka, fleksibel, dan solutif. Ketika mahasiswa bekerja dalam tim menulis buku antologi cerpen berbasis kearifan lokal, misalnya, dosen perlu aktif membimbing diskusi kelompok, memfasilitasi resolusi konflik, dan memberi arahan tanpa mendikte. Di sinilah komunikasi pedagogis menjadi perekat antara proses, relasi, dan hasil belajar.

Akhirnya, komunikasi pedagogis tidak dapat disubstitusi oleh teknologi, meskipun ia bisa diperkuat olehnya. Esensi komunikasi ini terletak pada relasi kemanusiaan yang dibangun dalam suasana belajar yang menghargai proses, menghormati perbedaan, dan mengarahkan pada pertumbuhan bersama. Di tangan pendidik yang menjunjung komunikasi pedagogis, ruang kelas bukan sekadar tempat belajar, tetapi menjadi taman tumbuhnya pemikiran, etika, dan kepribadian. Pendidikan tinggi Indonesia tidak cukup hanya mengejar output berupa lulusan yang kompeten secara akademik. Lebih dari itu, kita membutuhkan outcome, yakni generasi intelektual yang mampu berpikir kritis, bersikap reflektif, dan berempati terhadap sesama. Komunikasi pedagogis adalah jembatan menuju cita-cita itu. Dengan membangun komunikasi yang mendidik, kita sedang membangun masa depan yang lebih manusiawi dan beradab.***

Diena San Fauziya adalah dosen aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Siliwangi yang tengah menempuh studi lanjut (S3) Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia.


Eksplorasi konten lain dari Literatura Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *