
[Sumber gambar: AI]
Penulis: M. Saepul Rizal
Bandung, Kamis 22 Oktober 2020, jam 19.30. Aku sedang bersenda gurau dengan sahabatku, namanya Bimo. Membahas perempuan cantik dari prodi sebelah, Prodi Bahasa Inggris. perempuan yang sedang dikagumi oleh Bimo sendiri. Bisa dikatakan salah satu perempuan cantik dari sepuluh perempuan cantik di lima prodi, versi Bimo. Bimo memberikan peringkat ke empat atas kecantikan perempuan itu, setelah peringkat ke tiga diboyong oleh Wulan, dari Prodi Bimbingan Konseling, sayangnya Wulan sudah punya pacar. Peringkat ke dua disematkan pada Nina, dari Prodi Matematika, karena ditunjang dengan penampilannya yang cukup glamor. Dan, yang pertama adalah Nayanika dari kelas sendiri, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku akui versi Bimo itu ketika peringkat pertama dikukuhkan pada Nayanika, sesuai dengan namanya, Nayanika, yang berarti mata yang indah dan memancarkan daya tarik.
“Bim, gimana udah berani belum kenalan sama dia?” tanyaku yang ke tiga kalinya, terhitung dari satu bulan yang lalu, setelah dia curhat; menyatakan kalau dia suka sama perempuan yang memiliki kelebihan lesung pipi itu. Memang manis.
“Berani!”
“Ah, perasaan bilang berani doang dari kemarin, mana belum ada bukti?”
“Ha ha, malu …”
“Yaudah, makan tuh malu!”
Pembahasan perempuan itu terhenti, setelah dosen mata kuliah umum terakhir masuk dan mengucapkan salam untuk memulai pembelajaran. Semua mahasiswa seketika terhentak dari kesibukannya masing-masin di tengah dosen mengucapkan maaf dan memberikan penjelasan atas keterlambatannya. Aku pun mengangguk dan melapangkan dada atas keterlambatannya yang tidak perlu itu, walau hanya 8 menit, tapi waktu ya tetap waktu, tidak bisa diputar kembali.
Dosen itu pun kemudian menceritkan tentang Prabu Siliwangi, katanya “Nama asli dari Praboe Siliwangi adalah Raden Manah Rasa atau Pamanah Rasa. Namun, kita lebih mengenalnya dengan nama Praboe Siliwangi dari Pakoean Padjadjaran. Prabu Siliwangi digelari dengan nama Praboe Dewata Wisesa. Lalu, di abad ke 14 Praboe Siliwangi menikah dengan santri dari Sjech Hasanoeddina atau yang kita kenal dengan nama Sjech Qoero, santrinya itu bernama Njai Soebang Larang. Nah di sini, banyak orang yang tidak tahu kalau Praboe Siliwangi menikahi Njai Soebang Larang itu melalui proses Islamisasi terlebih dahulu. Bisa dikatakan juga bahwa Njai Soebang Larang mengajukan syarat kepada Praboe Siliwangi untuk bersyahadat terlebih dahulu sebelum menikahinya. Banyak versi-versi lain yang selebihnya bisa kalian cari sendiri, semisal versinya adalah kalau Njai Soebang Larang itu anak dari Sjech Qoero itu sendiri, tapi ada yang mengatakan kalau Njai Soebang Larang itu adalah Putri dari Ki Gedeng Tapa, Sjah Bandar dari Muara Jati Cirebon. Namun hal terpentingnya adalah itu tadi, kalau Praboe Siliwangi menikah dengan Njai Soebang Larang itu melalui proses Islamisasi terlebih dahulu dan menikahnya pun dilaksakan secara Islami.
“Nah dari pernikahan itu melahirkan 3 anak, anak pertama yaitu Walang Sungsang lahir 1426 M, anak kedua yaitu perempuan namanya Njai Rara Santang lahir 1426 M, dan yang terakhir adalah Radja Sengara lahir 1427 M.”
Aku melihat waktu di jam tangan yang melingkar di tangan kiri ku, dan jam itu menunjukan angka 20.00. Kemudian aku melihat teman-teman yang lain, termasuk dari 4 prodi lain. Ada yang bersemangat memperhatikan dengan sikap sempurna. Ada yang memainkan pena dengan jarinya, yang kadang-kadang dipukulkan ke kepalanya sendiri. Ada yang sibuk dengan gawainya, ada yang asik ngobrol, ada yang mulai menguap-nguap, ada yang mencuri-curi kelengahan dosen dengan seenaknya makan dan minum. Dan, ada Bimo yang sedang senyum-senyum sendiri memperhatikan perempuan manis kekagumannya.
“Sampai sini ada yang mau ditanyakan?” tanya dosen itu.
“Saya pak” sambil mengancungkan tangannya, “Saya Manda pak, dari Prodi Matematika. Izin bertanya pak…”
“Iya, silahkan”
“Kenapa nama-nama orang dulu seperti identik dengan hewan? Seperti tadi Walang Soengsang, terus ada lagi Hajam Woeroek, dan sebagainya. Itu kenapa ya, Pak?”
“Baik, pertanyaan bagus, siapa tadi namanya?
“Manda, Pak, dari Prodi Matematika”
Oh… namanya Manda, pikirku pada orang yang tadi srius memperhatikan dosen.
“Oh iya, Manda, terima kasih sudah bertanya. Baik, kenapa bisa demikian? Karena, nama-nama tersebut dipengaruhi oleh ajaran Totemisme yang identik dengan nama-nama hewan. Ada yang tahu Totemisme itu apa?” tanya dosen itu, menghidupkan susanan yang mulai terlihat mendung dirundung jenuh dan kantuk. Namun, semua mahasiswa diam, entah tidak ada yang tahu entah pikirannya sudah melayang ke alam lain.
“Baik, Totemisme adalah keyakinan atas dasar keturunan dewa-dewa atau nenek moyang. Karena dulu, Hindu itu memiliki ciri-ciri pada penamaan, yaitu dengan nama-nama yang identik dengan fauna atau hewan, seperti Walang Soengsang yang berarti Belalang yang berposisi sungsang. Mungkin demikian, Manda”
“Oh iya baik, Pak. Terima kasih, Pak.”
“Iya, selebihnya kamu bisa cari-cari sendiri ya.”
“Baik, pak”
“Ok, ada lagi yang lain, yang mau ditanyakan?”
Hening, tidak ada yang mengacungkan tangan. Setelah satu menit berlalu, seorang lelaki dengan rambut berjambul, menggunakan kemeja hitam, dan pena dijepitan jarinya, mengacungkan tangan seraya berkata “Maaf, Pak, saya Adrian, saya mau bertanya…” dengan nada sidikit tinggi. Aku merasa pertanyaan yang akan diajukannya adalah pertanyaan yang sudah ia tahu jawabnnya, alias ngetes dosen.
“Iya silahkan, mau tanya apa?” sambut dosen itu, tenang. Memang dosen yang satu itu selalu terlihat tenang, seakan semua bahan sudah ada di dalam kepalanya.
“Seperti ini, Pak. Katanya, kalau Soenan Goenoeng Djati itu ada terah dari Praboe Siliwangi. Nah, itu bagaimana, Pak? Sedangkan terlihat dari nama anak-anaknya tadi yang bapak sebutkan pun tidak ada yang mewariskan nama ke sunanannya, semua identik dengan nama hewan atau ajaran Totemisme tadi.”
“Baik, terima kasih atas pertanyaanya, pertanyaan yang luar biasa. Sebelumnya, barangkali yang lain ada yang mau menjawab atau menanggapi?”
Suasana kembali hening sesaat. Dan, tak lama kemudian seorang perempuan mengacungkan tangannya seraya mengucap salam, “Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh?”
Sebagian mahasiswa menjawab dan sebagiannya lagi telah kalang kabut bersama sang jenuh dan sang kantuk. Dan, aku termasuk yang menjawab salam tersebut dengan penuh perhatian, karena penasaran juga dengan jawabannya.
“Saya Nayanika, Pak, dari Prodi Bahasa dan Sastra Indoneisa. Tapi sebelumnya maaf, Pak, kalau nanti ada pemaparan saya yang kurang tepat, tolong dibetulkan ya, Pak.”
“Baik, sok, kita di sini semua sama-sama belajar, jadi kalau ada yang kurang tepat kita harus saling mengingatkan, termasuk kalau Bapak salah. Ok silahkan, Nayanika.”
“Baik, Pak. Jadi, Soenan Goenung Djati itu adalah putra dari Njai Rara Santang. Mulanya, Njai Rara Santang dan kakaknya Walang Soengsang menunaikan rukun haji. Setelah selesai menunaikan rukun haji, Walang Soengsang di kenal sebagai Abdullah Iman. Sedangkan Njai Rarasantang dikenal dengan nama baru, Saripah Moedaim.
“Ketika di Tanah Haram, Njai Rara Santang atau yang telah berubah nama menjadi Saripah Moedaim itu bertemu dengan seorang lelaki, namanya Sjarif Abdullah. Singkatnya, Sjarif Abdullah itu terpikat pada Njai Rara Santang dan mengajukan permohanan pada ibundanya untuk menikahinya. Setelah ibundanya menyetujui, Sjarif Abdullah pun menemui Abdullah Iman sebagai walinya Njai Rara Santang untuk meminangnya. Dan, Abdullah Iman pun menyetujui ajakan pinangan itu. Kemudian menikahlah Sjarif Abdullah dan Saripah Moedaim itu.
“Setelah pernikahan adiknya, Abdullah Iman pulang ke tanah Air terlebih dahulu. Sedangkan Saripah Moedaim tinggal di Tanah Haram bersama suaminya, Sjarif Abdullah. Saat tinggal di Tanah Haram, Saripah Mudaim melahirkan seorang anak, dan anak itu di beri nama, Sjarif Hidayatullah. Setelah 20 Tahun, Sjarif Hidayatullah pulang ke Tanah Air untuk menemui kakeknya, Praboe Siliwangi. Sesampainya di Tanah Air tahun 1470 M, yang kemudian Sjarif Hidayatullah mendapat dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walang Soengsang untuk menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Djati yang kita kenal sekarang sebagai Soenan Goenoeng Djati. Mungkin demikian pemaparan saya, Pak, mohon maaf jika ada kekurangan atau kesalahan”
“Luar biasa, pertanyaan dan jawaban yang luar biasa. Terima kasih, Nayanika juga Adrian. Menurut, Bapak, jawaban itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya Adrian. Namun, barangkali ada yang ingin menambhakan, silahkan! Mumpung masih ada waktu sekitar lima menit lagi. Atau, Adrian, barangkali masih ada yang mau ditanyakan lagi.”
“Tidak, Pak, sudah cukup. Terima kasih, Pak” jawab Adrian dengan nada pasrah.
Aku pun tersenyum mendengar jawaban, Nayanika, dan apresiasi dosen itu. Disaat keadaan semua mahasiswa tengah terdiam, tidak ada yang memberikan tanggapan dan pertanyaan lagi. Mungkin rasa lelah sudah sangat menyelimuti mereka yang siangnya telah bekerja, juga ada rasa jenuh yang menunggangi sebagian mereka yang tidak terlampau suka akan sejarah, dan memang sebagian juga terlihat sudah dihantui oleh rasa kantuk.
Di sisi lain aku melihat Bimo yang masih senyum-senyum sendiri memperhatikan perempaun kekagumannya. Lalu Terdengar dosen itu berkata dengan wejangan-wejangan penutupan pembelajarannya “Baik, kalau sudah tidak ada lagi yang akan memberikan tanggapan atau pertanyaan….”
Di tengah perkataan dosen itu, aku pun langsung mangambil gawaiku secara sembunyi-sembunyi dengan cepat, lalu mengirimkan pesan pada Bimo “Bim, mending kamu sapa dia sekarang deh, sebelum waktunya habis!”
Bimo pun langsung membaca pesan dariku “Ah… aku malu, Zal” balas Bimo.
“…. waktunya tinggal tiga menit lagi, mungkin bapak sudahi saja pertemuan kali ini. Barangkali ada yang mau malam jum’atan, Yasinan, atau ya itu….”
Semua mahasiswa tertawa mendengar itu, termasuk mahasiswa yang kelelahan. Pun demikian dengan aku, yang seketika bayanganku melayang, terbang keluar dan sampai di kamarnya.
Dosen itu pun pamit “… baik ya, bapak ibu, akang teteh. Bapak pamit duluan” seraya diiringi senyuman “Wassalammuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih, semuanya.” Diakhiri dengan senyuman dan lambaian tangan.
Aku pun ikut keluar dan menutup laptop-ku. Lalu menjatuhkan badan ke atas kasur sembari meniupkan nafas, huuuh. Menatap langit-langit dan tanpa sadar berkata, “Terima kasih, Zoom, berkatmu aku masih bisa menatap wajahnya.”
Terbersit dalam hatiku untuk mengiriminya pesan. Aku pun mengambil gawaiku yang tergeletak di atas kasur, dan seketika ibu jariku mengetik dengan sendirinya “Sebenarnya aku suka sama kamu. Kalau kamu tanya kenapa aku suka sama kamu? Aku gak tahu harus jawab apa, tapi hatiku hanya menyuruh untuk menyampaikan kalau aku suka sama kamu. Kamu mau jadi….” secepatnya aku langsung menghampus pesan itu. Berat rasanya untuk mengungkapkan perasaan sendiri, padahal perasaan sendiri.
Aku pun kembali menyimpan gawaiku di atas kasur. Lagi-lagi aku meniupkan nafas ke atas langit-langit. Aku tersadar dari khilafku, kalau aku belum menunaikan salat Isya. Aku lalu bangkit dari terlentangku dan beranjak untuk ke kamar mandi mengambil wudu.
Saatku berdiri, terdengar pesan WA masuk. Aku mengambil gawaiku kembali untuk sekadar melihat pesan itu. Saat kulihat, ternyata pesan itu datang dari Bimo. Dia mengirimkan sebuah screen shoot pertukaran pesan. Saat aku baca screen shootnya itu, ternyata sebuah perkenalan antara dia dengan perempuan kekagumannya, Cahya Mustika.
Aku langsung membalas pesan itu “Mantap!!!”
“Iya dong! Tahu gak, Zal? Besok aku mau ketemu sama dia di tempat makan kita kemarin” jawabnya cepat.
Aku yakin dia senang, “Sedap! Tuhkan, ada hasilnya, yang penting berani. Semoga lancar besok, bro!!!” terkirim, aku pun kembali menyimpan gawaiku di atas kasur dan meluruskan niat untuk salat.
Selang aku mengambil wudu, aku langsung menunaikan solat Isya. Setelah rukuk dan sujudku selesai, aku mengangkat ke dua tanganku dan menengadahkannya ke langit, mengadu segala hal persoalan hidup termasuk ketidak punyaan nyaliku mengungkapkan perasaan.
Syahdan aku kembali melentangkan tubuhku di atas kasur, dan terdengar kembali gawaiku berbunyi, Bimo pikiranku menebak pesan itu. aku pun membuka pesan itu, ketikannya: “Malam, Zal. Terima kasih, atas diskusinya kemarin. Walaupun lewat WA tapi pengetahuanku jadi bertambah. Oh iya, Zal, besok sore ada acara enggak? Kalau gak ada, jalan yu!” “Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, sekuat ini aku menahan rindu sejak covid itu melanda. Aku rindu…” ucapku sendiri bercampur aduk dengan debar di dada, tidak karuan,“Aku cinta sama kamu, Nayanika, sampai jumpa besok.” Seraya memeluk erat guling.
Penulis
Muhammad Saepul Rizal lahir di Bandung, 4 April 1998. Lulusan IKIP Siliwangi tahun 2023. Seorang penulis cerpen dan novel. Kalau dapat wahyu ditulisnya juga puisi dan essay. Karyanya dapat diakses di https://lynk.id/muhammadsaepulrizal dan ia dapat dihubungi melalui surel muhammadsaepulrizal@gmail.com
Tinggalkan Balasan