
[Sumber gambar: AI]
Penulis: Sary Sukawati
Mungkin terdengar aneh saat pertama kali membaca judul ini “berpikir kritis dan hidup romantis”. Bukankah keduanya berada di kutub yang berbeda? Kita sering mengasosiasikan berpikir kritis dengan kerja otak kiri (analitis, logis, dan sistematis), sedangkan romantisme sering dianggap sebagai wilayah otak kanan (penuh perasaan, imajinasi, bersifat mesra, dan keintiman). Namun, bukankan hidup yang seimbang justru lahir dari kemampuan mengintegrasikan keduanya, seperti roda sepeda yang hanya akan tetap tegak jika terus dikayuh dengan seimbang.
Berpikir kritis sering diartikan sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, merefleksi, dan berargumentasi secara logis. Sementara romantisme identik dengan kehangatan hubungan, suasana yang membahagiakan, dan kedekatan emosional yang intim. Tapi siapa bilang keduanya tak bisa berjalan beriringan?
Bayangkan seorang mahasiswa yang sedang menyusun artikel ilmiah. Ia menelusuri literatur, menelaah argumen, membandingkan sumber, dan menyusun pendapatnya. Itulah kerja berpikir kritis. Di sisi lain, bayangkan sepasang kekasih masuk ke restoran; si pria menarikkan kursi untuk pasangannya, memberikan setangkai mawar, lalu mengecup punggung tangannya. Sebuah gambaran klasik romantisme. Jika kedua gambaran ini kita sandingkan, apa yang bisa kita pelajari?
Dengan berpikir kritis, kita justru bisa melihat bahwa hidup tidak harus terkotak-kotak menjadi hitam dan putih, logis dan emosional, atau otak kiri dan otak kanan. Kita bisa merenungi bahwa setelah panas akan terasa sejuk, setelah terjatuh kita belajar bangkit, dan setelah pergi akan ada yang pulang. Bukankah semua itu terdengar romantis sekaligus kritis?
Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis bukan hanya untuk ruang kelas atau tempat kerja. Ia bisa menjadi kunci hidup yang lebih romantis (baca: lebih harmonis). Dalam setiap relasi, baik itu pertemanan, percintaan, atau profesional, kemampuan berpikir kritis membantu kita mengambil keputusan yang tidak hanya tepat, tapi juga berdampak baik untuk jangka panjang.
Di tongkrongan, kita sering dengar istilah usang “RoManTis: Rokok Makan Gratis”, julukan untuk mereka yang selalu ikut tapi maunya “gratisan”. Daripada terus menerus mengandalkan romantisme versi “nebeng”, alangkah lebih baik jika kita berpikir kritis: bagaimana kalau kita yang mulai memberi? Dengan begitu, suasana pertemanan jadi lebih hangat, saling memberi, dan saling menghargai. Itu baru romantis yang sesungguhnya.
Begitu pula saat kita berdebat atau berselisih. Emosi memuncak, ego mendominasi, kata maaf terasa berat. Di sinilah keterampilan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti “Apa manfaatnya jika saya menang?”, “Apa yang saya pertaruhkan jika terus melawan?”, atau “Bagaimana karakter lawan bicara saya?”, “Bagaimana kalau saya mengalah?” dapat membantu kita mengambil keputusan yang tidak impulsif, tapi bijak dan penuh pertimbangan.
Orang yang berpikir kritis tidak hanya mementingkan menang debat, tetapi juga mengukur dampaknya bagi hubungan jangka panjang. Ia tahu kapan harus mengalah, kapan harus diam, dan kapan harus bertindak. Ia tahu bahwa “mengalah bukan berarti kalah”, bahwa “debat kusir tidak akan menghasilkan apa-apa”, dan bahwa “melawan orang bodoh bisa membuat kita terlihat lebih bodoh”.
Setiap pagi, mari kita bangunkan alarm berpikir kritis dalam diri kita: “Apa yang akan saya lakukan hari ini?” “Untuk apa saya melakukannya?” “Apa akibatnya jika saya tidak melakukannya?” dan “Bagaimana cara saya menghadapinya?”
Nah, sudahkah Anda berpikir kritis hari ini? Kalau sudah, niscaya hubungan dengan diri sendiri jadi lebih harmonis dan relasi dengan orang lain pun jadi lebih romantis. Selamat berpikir kritis, ditemani secangkir teh manis—gratis.
Penulis
Sary Sukawati adalah dosen IKIP Siliwangi yang saat ini tengah melanjutkan kuliah di UPI Bandung pada Program Studi (S3) Pendidikan Bahasa Indonesia. Cita-citanya sejak kecil ingin menjadi guru. Inilah yang mengantarkannya mantap memilih kuliah S1 dan S2 di kampus UPI Bandung. Menjadi dosen adalah pilihan hidupnya. Aktivitas pengajaran, penelitian, dan pengabdian kerap menemani hari-harinya. Beberapa tulisannya sudah dimuat di beberapa jurnal dan prosiding terakreditasi.
Tinggalkan Balasan