
[Sumber gambar: Dokumentasi penulis]
Penulis: Lilis Amaliah Rosdiana
Di tengah dominasi format yang kaku dan penuh jargon, pendekatan ini mengusulkan bahwa artikel ilmiah dapat dan seharusnya ditulis dengan bahasa yang menggugah, struktur yang fleksibel, serta narasi yang hidup. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak hanya akurat secara metodologis, tetapi juga komunikatif dan relevan bagi khalayak yang lebih luas.
Mengapa Artikel Ilmiah Kerap Membosankan?
Banyak akademisi setuju bahwa menulis artikel ilmiah dalam kehidupan kampus adalah sebuah keharusan bagi dunia pendidikan tinggi. Namun, di balik kewajiban tersebut tidak sedikit yang merasa bahwa prosesnya membosankan, terasa sulit, membutuhkan waktu lama, dan hasilnya hanya “dibaca oleh reviewer lalu disimpan di repository.” Kritik ini bukan tanpa alasan. Artikel ilmiah cenderung ditulis dengan gaya yang formal dan kaku, penuh jargon, dan minim kreativitas naratif. Akibatnya, daya jangkau artikel pun sangat terbatas, baik secara akademis maupun sosial.
Dalam konteks inilah muncul pertanyaan penting: mungkinkah menulis artikel ilmiah dengan gaya yang lebih komunikatif, bahkan menggoda, atau dalam istilah populer: gaya yang “seksi”?
Daya Tarik Ilmu: Tidak Hanya Benar, Tapi Juga Menggugah
Gaya seksi bukan berarti menggampangkan isi. Istilah “seksi” yang dipinjam adalah kemampuan untuk menyampaikan gagasan yang kompleks dengan cara yang cerdas, segar, dan membangkitkan rasa ingin tahu. Di era digital yang serba cepat, kemampuan menulis secara komunikatif bukan lagi keahlian tambahan, melainkan kebutuhan mendasar agar ilmu bisa menjangkau masyarakat luas dan berdampak nyata.
Sebagaimana ilmuwan hebat seperti Carl Sagan, Yuval Noah Harari, atau Michael Sandel telah menunjukan bahwa gaya penulisan yang humanis justru memperkuat posisi keilmuan, bukan melemahkannya.
Tipologi Gaya Seksi dalam Artikel Ilmiah
Ada beberapa prinsip dasar yang dapat diterapkan oleh penulis akademik untuk mengembangkan gaya penulisan yang menggugah:
- Pancingan awal yang kuat
Artikel yang dimulai dengan pertanyaan reflektif, ironi sosial, atau data mengejutkan cenderung lebih efektif mengundang perhatian pembaca.
- Judul yang memikat namun informatif
Judul bukan hanya identitas, tapi juga iklan. Gunakan kombinasi antara istilah ilmiah dan frasa kontekstual untuk menjangkau pembaca lintas disiplin.
- Struktur naratif dalam analisis
Meski mengikuti struktur IMRAD (Introduction, Methods, Results, and Discussion), narasi dapat disisipkan terutama dalam bagian Introduction dan Discussion. Ceritakan latar belakang fenomena, kesenjangan di lapangan, atau perjalanan intelektual peneliti secara ringkas namun hidup.
- Bahasa yang Akrab, Tanpa Kehilangan Kedalaman
Hindari kalimat panjang berbelit-belit dan istilah yang tidak perlu. Jika harus menggunakan istilah teknis, sertakan penjelasan yang ringan. Tulisan akademik tidak harus terdengar seperti pidato seminar.
- Data sebagai benang merah, bukan sekadar angka
Setiap data punya cerita. Sajikan temuan secara kontekstual, bukan hanya dalam bentuk tabel atau grafik. Gunakan narasi untuk menghubungkan angka dengan realitas sosial.
Tantangan dan Kesalahpahaman
Gaya penulisan seperti ini sering kali dianggap “tidak serius” atau “terlalu populer.” Padahal, keterbacaan tidak berbanding terbalik dengan kedalaman ilmiah. Tantangan sebenarnya adalah membangun kesadaran di kalangan akademisi bahwa menjangkau pembaca lebih luas justru memperkuat posisi ilmu dalam masyarakat.
Dalam konteks Merdeka Belajar dan dorongan untuk melakukan hilirisasi hasil riset, kemampuan menulis secara komunikatif seharusnya menjadi bagian dari kompetensi dosen dan peneliti.
Penutup: Menulis Ilmiah dengan Rasa
Menulis artikel ilmiah dengan gaya seksi bukan perkara estetika semata, melainkan strategi epistemik untuk mengembalikan ilmu ke ruang publik. Dalam dunia yang penuh distraksi dan kebisingan informasi, hanya gagasan yang disampaikan dengan daya tarik yang mampu bertahan dan memengaruhi. Karena itu, mari kita mulai menulis bukan hanya dengan akurasi, tetapi juga dengan empati dan imajinasi. Karena ilmu, jika ditulis dengan baik, bisa membuat siapa pun jatuh cinta.
Penulis
Lilis Amaliah Rosdiana
Dosen | Peneliti | Pegiat Literasi & AI | Penggerak Pemberdayaan Perempuan
Penulis merupakan lulusan program Doktor (S3) dari Universitas Pendidikan Indonesia, dan saat ini mengabdi sebagai dosen tetap di Universitas Winaya Mukti Bandung, kota yang juga penulis tinggali dengan penuh cinta: Bandung.
Tinggalkan Balasan