
[Sumber gambar: AI]
Penulis: Hegar Krisna Cambara
Nir hanya ingin merasakan bisu, tuli, buta dan mati. Nir mencipta metafor, semesta yang ingin dikunjunginya, Nir adalah metafora itu sendiri. Nir diselimuti asosiasi bebas yang membawanya lelap dalam pandangannya. Nir bersayap, tetapi hidupnya dihabiskan dengan merangkak. Nir tak lagi bisa mengenali wajahnya sendiri, ribuan wajah berusaha memasukinnya. Berawal dari mengindra lalu menyadari tengah berada dalam sebuah arena, arena di mana semuanya ilusi.
Lamat-lamat gesekan biola di nada tinggi bertangga minor sayup tajam menyusup telinga yang mendengar. Suara jatuhan air dari ketinggian seolah ritmis dengan ketukannya. Hembusan napas seorang perempuan yang cukup panjang seperti melegakan diri atas sebuah pemikiran. Di dalam kamar di sebuah apartemen. Terdengar suara gesekan pensil di atas kertas menandakan riuh aktivitas menulis ataupun menggambar. Rupanya Nir sedang menulis di buku diarinya. Sesekali terbatuk mungkin karena tenggorokannya terasa kering, ia mengambil gelas berisi air bening di atas meja yang tak jauh dari jangkauannya.
“Esok itu sunyi dan mata ini masih pejam… jika kelopaknya terbuka semoga selalu cipta lengkung senyum untuk segala, kamu tahu, hingga kapan matahari akan mencipta pagi-pagi baru?”
Sebuah nomor musik klasik menyajikan alunan biola, ritmis dengan jatuhan titik air hujan di luar. Dinding kamar dipenuhi dengan karya drawing, di salah satu sudut kamar terdapat patung- patung, ukiran, pahatan, cetakan setengah jadi yang limbahnya dibiarkan berserak. Beberapa konstruksi instalasi mengisi ruangan kamar, salah satunya menghasilkan jatuhan air dari sebuah kantung plastik kecil yang dikaitkan pada atap. Tak ada lampu di atap, hanya di dinding yang diatur letaknya sedemikian rupa guna menciptakan efek pandangan. Nir duduk di sebuah kursi di belakang meja dekat jendela.
Di sudut lain berdiri sebuah lemari dengan cermin besar di pintunya. Kasur busa bersprai bludru putih anggun terkulai di lantai kamar berkarpet hitam. Di atas meja terdapat tumpukan buku, kertas, alat tulis, alat gambar yang tertata. Sebuah lampu meja ukiran menerangi kegiatan menulis Nir. Dia tampak memikirkan sesuatu, ekspresi wajah tenang, namun riuh dalam keresahan, menerawang keluar jendela, sambil memainkan rambut, menggigit tepi bibirnya. Tetiba jendela terbuka tertiup sepoi angin. Di luar hujan. Gedung-gedung di seberang jalan, sunyi, pandangan terhalang tirai plastik. Nir menghela napas, melirik pada sederet tumpukan buku-buku sastra dan filsafat karya-karya penulis dan pemikir ternama, terdapat juga di antaranya buku-buku mengenai agama.
“Ini hanya menuliskan kembali, sebuah pengulangan. Bukankah sebuah pengulangan itu kadang kala membuat sesuatu menjadi bernilai lebih, meski pada akhirnya kita diantarnya pada pintu kebosanan? Benarkah hidup merupakan sebuah pengulangan? Semua yang ada bukan terjadi begitu saja, tidak ada kebetulan di dunia ini yang ada adalah takdir itu sendiri.”
Huft. Nir mengembus napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan kiri yang sebelumnya menopang dagunya. Menyimpan pensilnya, kemudian berdiri. Kedua telapak tangan bertemu dengan tepi meja. Melemparkan pandangannya ke luar jendela. Di luar masih gerimis. Nir kosong mencoba menatap jatuhan airnya. Setelah beberapa saat, dia lalu menyibakkan rambutnya beranjak menuju cermin. Nir mengamati wajah, tubuhnya. Berdiri di depan cermin. Meraba seluruh lekuk tubuhnya, lalu mendekati cermin, mengamati lebih dekat. Telunjuk kanannya digerakan mengikuti lekuk wajahnya, berhenti di ujung bibir. Mencoba untuk tersenyum, tetapi tidak lepas. Beberapa saat kemudian mundur selangkah ke belakang lalu membungkuk, memberi hormat bak budaya bangsawan Eropa. Nir tersenyum, lalu kembali ke meja mengambil diari dan pensilnya, kemudian pergi ke luar kamar melewati pajangan karya- karya drawing. Karya-karya drawing Nir, sarat akan harap, harapan-harapan yang direpresentasikan dalam warna-warna pucat. Salah satu drawing melukiskan seorang gadis kecil yang membungkuk hormat di depan cermin, seperti yang dilakukan Nir tadi di hadapan cermin.
Di luar sendu. Jalanan kota basah, gerimis masih menyiram. Orang-orang lalu lalang menggunakan mantel, jas, ada yang berpayung, ada juga yang hanya melindungi kepalanya dengan kertas koran, map atau tas mereka. Lampu-lampu penerangan masih menyala, orang-orang mulai lalui hari dengan langkah-langkah. Sebuah kendaraan melaju perlahan, berhenti di persimpangan membiarkan para pejalan kaki melintas di zebra cross.
Nir berjalan, membiarkan tubuhnya disentuh gerimis, tanpa alas kaki. Tangannya memegang diari bersampul coklat muda, tepinya berhias bunga-bunga kecil yang bersembunyi di antara dedaun mungil. Nir hanya mengenakan baju tidur dan celana panjang tidur berwarna sama, merah muda. Tibalah ia tepat di depan sebuah toko/kedai sarapan dengan beberapa kaca jendela yang lebar, sebuah toko yang berkonsep seperti etalase, memperlihatkan aktivitas di dalamnya. Nir masuk ke dalam dengan langkah ringan, orang-orang memperhatikan dia. Seorang pelayan mendekati dan memberi salam dengan membungkuk, Nir membalas dengan membungkuk, satu kakinya menekuk lutut, seperti balerina. Nir kemudian duduk di dekat jendela memandang ke luar. Tampak seorang gadis kecil berambut pirang terjatuh, lalu memegang lututnya yang sedikit berdarah. Gadis itu melihat Nir, tersenyum, kemudian berdiri melayang perlahan, di punggungnya mengepak ringan bulu-bulu halus menyerupai sayap, Nir tertegun, tak percaya, tersenyum, matanya binar.
Senang melihatmu lagi, hari ini hujan. Kamu menyukai hujan? Saya rasa hujan adalah momen yang indah, maksud saya gerimis. Ya, seperti hari ini. Hujan selalu memiliki bahasa yang hendak disampaikannya pada kita apapun termasuk tentang cinta dan harapan. Sang pramusaji dengan santun menyodorkan pesanan Nir: secangkir susu, sepotong roti berlapis salad, omlet dan pasta. Terima kasih, kamu selalu tersenyum padaku. Saya menyukai hujan, bagi saya hujan itu sesuatu yang agung, kita bisa rasakan, dengarkan dan menikmatinya melalui indra kita. Sang Pramusaji tersenyum, menarik diri mundur lalu memberi salam dengan membungkuk.
Beberapa pengunjung lainnya melihat interaksi meraka, ada yang tersenyum ada pula yang merasa aneh, kebanyakan tak peduli. Nir menggenggam telinga cangkir, mengangkatnya lalu minum perlahan. Disimpannya lagi, kemudian mengambil pisau dan garpu, memulai memotong roti dan menikmatinya. Di luar toko, sudut pandang melalui jendela, gerimis belum juga reda, orang-orang tetap saja ada yang berlalu lalang, di seberang jalan sepasang tua berpeluk mesra dibasuh gerimis. Berputar-putar tubuh mereka perlahan, rona senyum dan tawa tampak kias di antara wajah keriput mereka. Sebentar sebuah taksi kuning tanpa penumpang melaju perlahan menghalangi pandangan dari sudut tempat Nir duduk. Setelah taksi melintas, pasangan tua yang terlihat bahagia itu membeku menjadi patung es yang sesaat kemudian mencair. Sebelum mencair, sepasang senyuman mereka layangkan untuk Nir.
Nir kembali tertegun, menghela napas dan menghembuskannya panjang. Ekspresi wajah Nir tidak seperti sontak kaget. Nir kemudian tersenyum, namun kini matanya berkaca-kaca. Menyimpan cangkirnya lalu membuka diarinya, hendak meneruskan menulis,
“Senyuman. Apa seorang pengecut memerlukan sebuah senyuman? Sanggupkah dia tersenyum atas apa yang telah dia perbuat dan ketika menyadari kepengecutannya yang tumbuh dan membenih dalam dirinya? Saya tidak tahu! Saya tidak tahu apa yang harus saya dahulukan agar hati saya tersenyum jujur sebab sesuatu yang di dalam itu tidak terlihat
hanya dapat diterka oleh nalar dan rasa, dan saya merasa seperti terapung terbawa hanyut saja. Seperti sebilah kayu yang tidak pernah mengerti kenapa ia terapung dan ke mana ia akan hanyut. Tetapi saya lebih dari sekadar kayu, saya adalah sebuah, sesuatu yang tak pernah tahu apa yang akan saya dapati, temui, lewati ketika saya terapung dan hanyut.
Hal ini membuat saya tidak daya, suka menunda dalam melakukan segala hal juga untuk berpikir mengenai apa pun! Saya hanya ingin istirahat sejenak, dimanjakan sentuhan, saya merindukan senyum, senyum canda yang menampung selengkung bahagia lahirkan ribu asa. Selama ini saya tidak memahami diri ini, sekali pun! Apa yang saya ingin selalu saja pecah, apa memang demikian baiknya? Itu menjadikan saya lebih pecah, kolase mengada, begitu melelahkan, saya tidak tahu apa ini juga klise? Terkadang kepala saya sakit, lebih sering kepala dalam tubuh saya, mata ini tak ingin pejam, tapi banyak hal yang paksa kelopak mata untuk tertutup, tubuh mencari gelap berharap ruang reka lebih baik daripada menatap bayang sendiri mencekik diri. Saya terlahir memiliki indra, saya terus merekam dan merekam. Rekaman-rekaman itulah bagian dari konstruksi dari diri saya. Kebiasaan saya mengamati lalu tenggelam dalam tidur, ya, hanya sampai di situ. Mungkin kebanyakan dari kita sama, hanya menelan ludah, sudah itu tak ambil peduli, malu untuk berbuat baik karena keumuman tak mengajari.
Saya ingin coba pahami Dia karena selama ini bagi saya hanyalah sesuatu yang tidak seimbang, saya rindu perbincangan satu meja sambil menikmati segelas teh membahas kesantunan transenden. Semua saya miliki setidaknya dalam imajinasi saya. Saya dikelilingi tanda-tanda yang harus dipecahkan, pertanyaannya apa yang harus saya lakukan di detik-detik berikutnya untuk sesuatu yang bisa membuat saya tersenyum di hadapan ribuan orang yang tersenyum pula agar bangga dan syukur menjadi satu napas.
Ya, tak memiliki ruang itu sangat menyedihkan, kita tak akan bisa pernah menyelami diri seutuhnya. Siapa saya, apakah diri ini, untuk apa saya, bagaimana saya. Semua hanya mengalir begitu saja melewati angka-angka jarum jam dan almanak. Ini melelahkan, sangat melelahkan untuk usia hidup saat ini. Ini semua dapat membunuh secara perlahan atau mungkin saya sudah bukan saya, terbunuh oleh enigma yang sistematik merusak alam bawah sadar saya, dikekang kehampaan.
Ah, semua aneh atau saya memang yang tidak normal, melihat sesuatu melebihi kapasitas kerumitan otonomnya. Apa ini gejala patologis, berulang menekan dan selalu menjebak,
memaksa saya terlempar di arena kebingungan. Kondisi ini akan menjadi memayakan diri yang memang bentuk dasarnya sudah tidak jelas. Saya takpernah menemukan bentuk atas diri sendiri, berbeda dengan orang lain yang memang sudah memahami diri. Mungkin. Ini keterlambatan akut, saya tertarik mempelajari kecepatan otak bekerja, kapasitas dan daya kinerjanya. Misterius gumpalan abuabu ini.”
Nir terkejut dengan sebuah tepukan di punggungnya, tak sadar dia lontarkan teriak kecil, pensilnya terlempar hingga ke nyaris ke tepi meja. Seorang lelaki manis menyapanya, “Hai Nona, kuperhatikan Nona dari tadi, sudikah Nona berbagi sunyi denganku?”
Nir tidak menjawab, dia hanya menatap sinis ke bola mata si lelaki tersebut. Beberapa saat kemudian, Nir berkata, “Duduklah!” Sang lelaki pun duduk di hadapan Nir, memandang Nir begitu dalam, lalu mengambil secarik kertas milik Nir; mengeluarkan pena dari saku kemejanya, kemudian menulis,
“Diorama jingga dalam konstruksi kata, segumpal tanya terserak dalam asa, mampukah jelaga mengganti mega? Tak mudah untuk berdansa bagi kata yang tak bernyawa, menjadi nirmakna, tak mampu kepak ke udara, aku tertawan hujan, karam dalam belam, tak mampu tuntaskan candu rindu, pada birama mengada rupa, pada warna mengada nada, pada kata mengada asa, pada nyata mengada koma, menjadi cahaya mengada maya, bening mengada hening, dalam palung relung mencipta lengkung senyum. Ada cahaya yang menuntun retina, pada sebuah rupa yang menawan segala, asa bagi cinta yang sungguh, ada irama yang menyapa telinga, membentuk birama pada nadanada tiara, ada rasa yang tak mampu redam, ketika aku temukan cahaya yang mampu mengeruak kelam, ada mewangi pelangi yang tuhan suguhkan bagi hati yang sabar menanti, hujan mereda menjadi gerimis, ada hati yang kelak luluh pada sebuah cinta yang sungguh, pada perahu yang ingin selalu berlabuh. Menjelma aku mencipta kita dalam teduh.”
Sang lelaki lalu menyodorkan kertas yang sudah ia tulisi tadi ke hadapan Nir. Nir membacanya dengan saksama. Di antara mereka tak ada satu kata pun yang terlontar dari mulut keduanya. Mereka berkomunikasi sunyi, Nir membalas menulis di kertas kosong lainnya
“Jejali telinga dengan potongan jari, mari kita jahit kelopak masing, mulut kita adalah sepatu pongah yang menyisa jejak di meja perjamuan, dan kita biarkan hidung ini menjadi rumah bagi kepala-kepala kubus, saya tadi menanam jus tomat dalam pot ketika kamu serius membuat tattoo di paruparumu.
Aku harap dunia ini bisu, tak perlu kita berkata atau menggonggong satu sama lain, mungkin dunia akan hening. Hening adalah momen teragung dari kehidupan. Mungkin harus ada yang memulai.
Aku ingin kesendirian, di mana hanya aku dan imajinasiku. Sebuah ruang di mana dimensi kehidupannya bisa membuat elan vitalku menggebu, di mana daya pikirku bisa bergerak cerdas. Aku tahu bertahan adalah suatu hal yang sulit dibanding menghindar dan inikah suatu pernyataan menyerah? Apa aku harus menyerah pada keadaan, situasi yang membuatku bengkak otak, jiwa hingga terasa sakit. Sering aku pikir bagaimana jika mulut ini takbicara lagi, telinga ini tak mendengar lagi, sebab hening adalah keadaan yang paling agung. Terkadang diam merupakan suatu sikap yang efektif, diam itu menyelami, kontemplasi, mencerap, memahami. Sebuah pertanyaan untuk hidup, apakah esensi atau tendensi yang bergumul dalam logika dan emosi diri? Perjalanan hidup ini sulit dan kesulitan itu membuatnya menarik. Bagiku, menyerah adalah adaptasi perlahan reflektif dari responsif kontemplatif.
Apa yang disebut jiwa itu equivalen dengan ruh? Jika nalar dan emosi ada pada otak, jiwa letaknya di mana?”
Sang lelaki membacanya dan tersenyum kemudian mengambil tissue yang tersedia di meja dan menuliskan
“Wilayah ini sangat luas, mana yang lebih luas: semesta nyata atau semesta imaji? Manusia berada dalam keduanya, coba pahami tentang diri, tendensi, atau esensi? Mari kita berbagi sunyi. Apakah objek lebih jujur daripada indra atau sebaliknya? Di mana tepatnya sunyi itu berada? Langit memang sunyi, tetapi semoga tidak dengan hatimu. Bebaskan diri dari hasrat memiliki dan menjadi, jangan berjalan hanya sekadar berjalan, lihatlah dengan sungguh yang terlihat olehmu. Cahaya jalin jarak memaya antara, untuk siapa? Ada itu ada karena ada itu sendiri di antara ada yang lain. Kenapa harus hidup dulu sebelum kekal?
‘Tiap ada takada yang nirmakna, saling mengukuhkan ada oleh ada seluruh adalah ada universal, pikiranpikiran simpulan merupakan pilihan output dari proses. Jadi, tersenyumlah wahai jelita, dunia takperlu kaurangkum sendiri di kepalamu, semesta pikiranmu lebih kompleks daripada apa yang kauindra selama ini.
Ini hanyalah sebuah efek, kamu terlalu banyak membangun cermin di matamu, dan aku menghampirimu untuk menyampaikan cinta dari Sang Pemilik Cinta, kita tidak memiliki apaapa, semua ini hanya konsep dan ide-ide fana, kita terlena tertawan, bahkan terlanjur terbuai multiorgasme di mekanismenya. Ini semua rekayasa dari Sang Waktu. Segeralah minum kopi itu sebelum waktu menghirup habis uap hangatnya. Sampai kapan pun kita hanyalah tawanan waktu. Bukankah namamu Nir?” Sudah takdirmu gelisah sebab kau mencoba membekukan waktu dalam semesta imajimu.
Nir tertegun saat membaca kalimat terakhir yang ditulis sang lelaki tersebut. Sebentar saja Nir meminum kopi di cangkirnya, lelaki tersebut sudah berdiri di luar kedai tepat di balik jendela tempat Nir duduk, dia melambaikan tangannya sambil simpulkan senyum dan membungkukkan badannya lalu sirna seketika Nir mengangkat tepi cangkir kopinya dari mulutnya yang ranum. Nir kembali menulis,
“Saya semakin tak memahami, di depan tabir pekat mengabut, menggila sejenak tak mengapa, mari melipat jarak, kita sudah mampu menyiasati waktu, bahkan berkhianat pada waktu, tetapi pada akhirnya kita akan menyerah juga.”
***
Penulis
Hegar Krisna Cambara
Tinggalkan Balasan