Literatura Nusantara

Membumikan Sastra Melangitkan Kata

Dialog Sendu

[Sumber gambar: AI]

Penulis: Hegar Krisna Cambara

Mendung. Gang, pagi ini lengang, angin sendu, hawa dingin. Sayup eja biola lengking pekak terbata karena tak biasa. Haha.. aku baru saja mencoba memainkannya. Biola pinjaman dari berbulan yang lalu, sulit kuberadaptasi dengan alat musik ini. Butuh kontrol rasa yang tinggi, menguras raga memeras logika. Frustasi kopi pagi. Diprotes tetangga, “Oi berisik!” Haha. 

Haduh. Langit mendung berat, mungkin sebentar lagi hujan. Ya, benar saja. Riuh bising atap seng tepis jatuhan bulir air yang tiba-tiba. Teriakan lantang, “Hujan… hujan… selamatkan jemuran!” dari seorang ibu gegas mengambil sejumlah jemurannya yang terpamerkan di rentangan kawat dari lantai tiga rumah kontrakannya. Bayangkan saja, seprai yang sudah tiga hari lalu dicuci harus basah lagi kini tak kering, menambah sesak rumah dengan aroma apek jemuran lembab. Rentangan tali jemuran dadakan pun hiasi interior ruangan yang memang hanya sepetak. Kutang, celana dalam, kaos oblong, daster batik, sarung bantal, seprei, kaus kaki, seragam sekolah menjadi instalasi bak galeri seni dalam rumah. Berwarna-warni hiasi ruang dalam kontrakan-kontrakan di gang ini.

Kusimpan kembali biola ke dalam softcase agar tak rusak. Perih lambung tuntut aku untuk sarapan. “Sial” ini hari Sabtu, pasti banyak info lowongan kerja di koran. Kesempatan sarapanku dipertaruhkan dengan harapan yang berbentuk teks. Keparat, pisang goreng lebih menggoda dari sekadar info lowongan kerja.” Menjelang siang, hujan menjadi gerimis, tak lama pedagang keliling lalui gang lewati samping kontrakanku, terdengar suara letusan kecil diikuti umpatan “Taik, belum laku dah betus”. Rupanya pedagang balon, maklum di sini banyak anak kecil. Mungkin di benaknya, dia akan laris jika berjualan di sini. Aku tersenyum lihat dia mengerutu sambil membunyikan balon suara di tangannya yang bunyinya seperti terompet rusak.

“Hai, Kawan, kemarilah!” “Mau beli balon Mas?” menyeringai harap. “Kemarilah, duduk dulu di sini hingga hujan benar-benar reda! Kita ngopi sebentar saja” Kusodorkan gelas kopiku dan pisang goreng hangat di piring. “Kopinya berdua aja, gak ada lagi. Pisang gorengnya masih hangat, ciciplah!” “Iya Mas, silakan.” Sungkan.

Beberapa jeda waktu berlalu, rasa sungkan itu patah ditandai dengan “Sepertinya enak ya Mas pisang gorengnya!” “Oh iya tentu, gratis pula!” Jemari yang awalnya menyentuh pisang goreng tersebut seketika menjauh dari piring. “Lho kenapa tak jadi ambil? Sampean pikir aku jualan pisang goreng? Ayo silakan cicipi saja, Bung!” “Enak ya Mas” seru sang pedagang balon keliling itu padaku. “Oh tentu, itu pisang goreng harapan, aku menukarnya dengan harapan-harapan yang dikalahkan oleh bunyi perutku tadi.” “Maksudnya Mas, Aku tak paham?” “Ah sudahlah, tak perlu kita bahas. Oh iya, aku ingin tahu kenapa kau berjualan balon gas seperti ini?” Kulihat sih memang bagus bentuk balon-balon dagangan dia, anak-anak pasti suka dengan balon-balon yang seperti ini. Bentuknya familiar dengan dunia anak-anak saat ini yang memang sudah tercekoki oleh kampanye ideologi barat, tokoh karakter busa kuning kotak yang lucu atau bintang merah muda yang bercelana hijau sudah menjadi ikon memorabel di benak anak-anak kota.

“Maaf Mas, saya bukan tukang balon, saya itu berjualan asa Mas. Buat saya, ini bukan sekadar balon, benda yang saya jual wakili harapan dan mimpi-mimpi anak kecil yang kadang mereka tak mampu komunikasikan hal tersebut kepada orang tuanya. Buat saya, ketika sebuah balon gas yang saya jual berpindah tangan kepada seorang anak, saya melihat cahaya mata dengan binar yang tak ada bandingannya, binar tersebut mampu ciptakan kebahagian tiada tara meski sesaat. Saya selalu perhatikan mereka berlarian suka ria dan riang senyum yang paling senyum sambil memegang tali balonnya menengadah ke langit. Mungkin imajinasinya terbang bergumul dengan gemawan. Ehmmm… sebab terbang bagi mereka adalah sesuatu yang luar biasa. Anak kecil selalu kagum dengan dua hal saja, yaitu “terbang” dan “menghilang”. Saya tak mampu menjual hal yang “menghilang” makanya saya menjual yang “terbang”.” Gitu toh Mas, bagi saya sederhana bahagia itu Mas, secara raga dan syariat mungkin saya jauh dari bahagia, tetapi semua itu terpenuhi bila saya lihat orang lain bahagia karena saya. Duh. Maaf Mas bukan maksud sok tahu, saya orang bodoh. Maaf ya Mas.”

Aku tertegun mendengar semua perkataannya, kusentuh balon-balon itu, kusentuh talinya, kurasakan keajaiban itu. Aku merasa bahagia, damai seperti diagungkan oleh harapan-harapan yang ada dalam benakku yang sebelumnya aku justru mengagungkan semua harapan-harapanku yang menjadi bobot pikul pada pundak imajinasiku. Ah, aku harus memilikinya satu. Mungkin satu balon gas ini akan mengajarkanku kebahagiaan meski terlihat naif. Ah aku ingin miliki salah satu balon ini. “Berapa kau jual satunya balon-balon gas daganganmu ini?” “Hanya lima ribu rupiah untuk sebuah kebahagian kecil, bila Mas mau pilih saja dan ambil satu anggap saja sebagai balasan kebaikan Mas mengajak saya berteduh sambil cicipi pisang goreng yang enak tadi”

Rinai hujan perlahan mereda. Pedagang balon pamit lanjutkan ikhtiarnya, sambil membunyikan balon suara di tangannya. Beberapa saat kemudian lenyap dari pandangan karena kelokan labirin tembok bangunan.

***

Aku belum beranjak dari tempat di mana aku duduk dan berbincang tadi, tanganku masih memegang tali yang mengikat balon gas tadi. Merenung dan mengamati benda yang baru saja kumiliki tadi. Kuraba, kuukur dengan rasa bobotnya, ringan. Ringan, ya ringan. Keringanan itu simpatetik secara impresif ke dalam perasaanku, aku seperti dibawanya tanpa beban. Imajinasiku menolak gravitasi yang mengikat seolah-olah hidup ini hanya duniawi saja. Gila… rasa ringan ini merasuk pada diriku, aku semakin dalam menyelami alam pikirku, isi balon gas ini seolah kosong, kosong padahal isi. Isi tak kasat mata, isi membawa ringan, isi ini transendental. Luar biasa. Aku berpikir keras.

Matahari sendu, awan seperti gumpalan randu berdebu agak kelabu. Instalasi celana dalam di kotak kontrakan. Lampu lima watt masih menyala sedang azdan dhuhur sudah berkumandang. Rengek bayi tetangga imbangi suara adzan dari masjid di timur kontrakanku, sepertinya bayi itu telat makan lagi. Mungkin si nenek kurang telaten, ibu dan bapak bayi tersebut sudah lama tak kembali. Huhf. Di ujung belokan Gang, antrean para ibu urusi utang di warung Simanurung. Mungkin para ibu nganjuk bahan makanan di warung tersebut, menukarnya dengan janji pembayaran. Simanurung termasuk baik, dia penopang hidup warga di sini. Dia tak rewel bila ada warga yang macet atau ingkar janji hari pembayaran utang bulanan. Dia memang termasuk pemeluk agama yang teguh, rajin beribadah dan tak pernah bersinggungan mengenai masalah keagamaan meski dia termasuk minoritas di sini.

Anak kecil pipis sembarangan di tiang listrik gang. Pesing. Sepeda kecilnya dia jatuhkan begitu saja karena ingin buang hajat kecil. Sialan, bangku sekolahnya tak membekas di sikapnya. Siapa yang salah bila seperti ini? Sesaat kemudian, kucing liar berak di pot tetangga. Hahaha.. Ada kesamaan kucing dan anak kecil.

Aku bergegas ke masjid. Sepi. Hanya ada marbot yang tadi adzan, jamaah imajiner. Masjid di sini penuh bila bulan puasa saja, itu pun sepuluh hari awal puasa dan sepuluh hari mendekati lebaran. Masjid di sini identik ma kaum renta, itu pun hanya ketika subuh, magrib dan isya. Hujan mulai turun lagi, kali ini intensitasnya lebih garang dari tadi pagi. Gang sepi. Aku berlari pulang ke kontrakan karena tak bekal payung. Jalanan serak sampah bekas jajanan para bocah penghuni gang.

Hujan deras. Kontrakan bocor. Perut lapar. Panci kosong berebut fungsi untuk wadah sayur atau tadahi bocor dari atap. Bising suara hujan tertahan atap seng antarkan aku dalam lelap sesaat. Enam jam setelah pisang goreng dan segelas kopi. Terdengar pengumuman dari pengeras suara masjid timur. Pengumuman tersedianya beras raskin dan gas tabung melon. Warga berbondong berpayung, berbekal KTP menuju kantor RW. Tukar sepuluh ribu terakhir dengan 4 kg beras ras terendah.

Ashar adalah bel aktivitas dapur umumnya, para ibu mulai meracik bumbu dan memasak di dapur. Anak rengek pulang sekolah kuyup. Seragam kumal, sepatu butut, tas kuyup dan buku pelajaran dijejerkan di meja menunggu giliran disetrika atau didekatkan pada api di kompor agar kering dan bisa digunakan esok hari.

Air menggenang sapa tumit kaki, kaki meja dan kasur lapuk. Magrib anak-anak mengaji setelah makan dan hujan reda. Tv menyala tak pernah mati. Berita kusut hiasi hati. Pengeras suara setelah adzan magrib umumkan berita duka, pak anu meninggal. Tetangga tersenyum “esok kita makan baik”. Selepas Isya melayat. Tunggu jenazah hingga subuh, para bapak dan pemuda berkumpul nikmati kopi dan rokok kretek ibadah. Dengung doa bersaing dengan ricuh bagi warisan. Tanah sepetak seolah area tambang yang tiada tara. Maklum per meter di sini sudah berharga tinggi. Esok dikubur di TPU pukul 10.00 WIB agar sama dengan detik-detik proklamasi karena almarhum dikenal sebagai birokrat kelurahan yang mengagungkan para proklamator.

Pagi ramai di jalan raya, bocah diseruduk becak. Kepalanya benjol terpelanting ringan. Warga hakimi pengayuh becak. Seorang ibu berteriak “Jangan dipukuli itu suami saya!” Massa bubar, kembali ke konsentrasi iring-iringan pengantar jenazah. Pengayuh becak babak belur terkapar di sudut mulut gang, pelipisnya sobek. Si bocah merengek kesakitan namun segera tersenyum setelah diobati oleh balon gas dan eskrim coklat.

Iringan pembawa jenazah layaknya raja jalanan. Pengguna jalan minggir memberi ruang bukan karena bunyi sirine melainkan teriakan “la illaha illalah”. TPU ramai pedagang bunga dan air mentah di botol air mineral bekas. Anak-anak kecil serbu pelayat pemakaman minta sedekah. Penggali kubur sudah duduk di atas tumpukan tanah galiannya menunggu upah. Mayat masuk ke liang lahat, keluarga mengerang tangis histeris beberapa terlihat tersenyum sinis.

Langit mendung. Matahari seperti hilang daya. Gang masih lembab, cucian apek masih belum kering, seragam sekolah dihiasi flek noda kuning. Para ibu menggerutu sambil beraktivitas di dapur-dapur mereka yang umumnya ngebul setelah ashar. Ba’da  magrib tahlil di rumah Pak Anu. Semacam kenduri asa yang dinanti warga karena ada makanan gratis dari keluarga duka. Apalagi pada hari ketiga dan ketujuh, hidangan bisa dibawa pulang untuk dibagi kepada anak istri. Tak jarang bila ada rangkaian tahlilan, warga selalu antusias. Mulai dari Bapak, si sulung hingga si bungsu yang laki-laki akan hadir saat tahlil di keluarga yang sedang dirundung duka.

Pagi harinya, aku bangun lebih awal. Ada kuliah perdana semester genap, semangatku terbungkus bersama segenap harapan-harapanku. Seperti biasa aku berjalan menyusuri liku labirin tembok bangunan menuju jalan raya. Aku melewati pasar tradisional. Becek. Bau anyir. Kotor, sudah pasti. Sebuah potret realitas dari keberadaan mental masyarakat sebuah negara. Di seberang jalan aku melihat pedagang balon gas yang sempat berbincang denganku, dia tak melihat ke arahku. Kulihat dia sedang membagi-bagikan balon gasnya pada orang-orang dewasa di sekitarnya sambil menyebarkan perasaan yang sama saat aku menerima balon gas darinya. Beberapa saat kemudian, aku tak melihatnya lagi terhalang oleh kerumunan orang-orang dan arus lalu lintas jalan raya. Aku menyeberang menujunya tetapi aku tak temukan apa yang aku lihat sebelum menyeberang. Aku hanya merasakan apa yang aku rasakan seperti saat aku menerima balon gas darinya. Rasa ringan itu kembali merasuk pada diriku. Aku merasakan sebuah harapan bukan lagi merasa dibebani harapan. Mahabesar Allah dengan segala rencananya.

***

Bandung, 2024


Eksplorasi konten lain dari Literatura Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Categories:

2 tanggapan untuk “Dialog Sendu”

  1. Avatar Adli
    Adli

    Bagus dan mantap

    1. Avatar Admin

      Terima kasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *