Literatura Nusantara

Membumikan Sastra Melangitkan Kata

Dewa Mati, Bumi Menjadi Jalang

[Sumber gambar: yayasanpalung.com]

Penulis: Resti Suparti

Bumi ini perempuan jalang. Larik puisi itu yang membuat mata ini menatap tajam puisi milik Subagio Sastrowardoyo berjudul “Dewa Telah Mati” seolah bumi ini tempatnya sesuatu yang kotor. Selain menulis puisi Ia juga menulis esai. Subagio lahir pada tahun 1942 yang berlatarbelakang Jawa ini merupakan lulusan dari Universitas Gadjah Mada (1958) dan melanjutkan ke Universitas Yale, Amerika Serikat (1963). Larik puisi “Bumi ini perempuan jalang” memiliki makna yang sangat mendalam, bukan hanya sebatas bumi yang disandingkan dengan perempuan jalang, tetapi larik ini memiliki sesuatu yang jauh lebih dalam maknanya. 

Lalu kenapa larik “Bumi ini perempuan jalang” melintas di pikiran Subagio, karena salah satu motif Subagio dalam berpuisi adalah ketidakpastian nasib. Sama hal nya seperti seorang jalang atau pelacur. Jalang dan pelacur ini identik dengan seorang perempuan malam yang hidupnya hanya berlandaskan dunia yang sama-sama memiliki sifat yang fana.

Pada mulanya saya berpikir bahwa “Dewa” disini adalah seorang yang mempunyai kekuasaan di bumi seperti pemerintah, presiden atau seorang yang mempunyai kekuasaan dan derajat di dunia. Namun, bila puisi ini dikaitkan dengan puisi lain yang ada di dalam antologi puisi Simfoni, “Dewa” di sini bisa bermakna sebagai seorang laki-laki (orang yang bisa mempunyai kekuasaan terhadap seorang perempuan). Dalam setiap larik nya hanya menceritakan 2 gender, yaitu laki-laki jantan dan perempuan. Sedang yang mati adalah laki-laki yang pertapa dan judul adalah Dewa telah mati, maka Dewa disini ditujukan pada Laki-laki yang pertapa itu.

Judul puisi “Dewa Telah Mati” merupakan pencerminan dirinya yang selalu berpijak pada moral dan dan ketiadaan moral. Dari judulnya saja sudah membawa nama “dewa” sebagai lambang kesucian yang dianggap sebagai yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Namun apalah arti seorang “dewa” apabila Dewa itu telah mati.

Puisi “Dewa Telah Mati” ditulis pada tahun 1957-1989 di dalam antologi puisi berjudul “Simfoni 2”. Sedang pada tahun 1967 Keadaan politik Indonesia pada saat itu mencatat bahwa Presiden Soekarno diturunkan dari jabatanya dan digantikan oleh Jenderal TNI Soeharto. Keadaan politik Indonesia ini mempengaruhi ide pengarang untuk menulis puisi bertema kekuasaan yang berhenti atau berganti. Seperti judulnya “Dewa telah mati” seorang Dewa yang memiliki kekuasaan namun kematiannya membuat keadaan seolah berhenti.

Berkaitan dengan kehidupan sosial pengarang, Subagio merupakan keturunan jawa berdarah biru, Ibunya merupakan keturunan bangsawan dari kerajaan Majapahit.  Ia hidup di jaman perjuangan, kemerdekaan dan jaman orde baru. Dengan latar belakang itulah Ia menciptakan judul dengan nama Dewa. Dewa yang melambangkan seseorang/sesuatu yang memiliki kekuasaan. Pengarang melambangkan dewa sebagai seorang tuhan, penguasa paling tinggi.

Dewa telah mati. Pengarang berusaha menggambarkan sebuah sistem yang mati atau tidak bergerak atau berhenti. Melalui kata “dewa” pengarang berusaha menggambarkan sebuah kekuasaan yang sudah tidak ada artinya lagi. Larik “tak ada dewa di rawa-rawa ini” pengarang berusaha menggambarkan seorang dewa yang tidak memiliki kekuasaan di rawa-rawa. Dewa cenderung berada ditempat yang suci, sedang berbalik dengan rawa-rawa yang terkesan tempat yang kotor. Hanya gagak yang mengakak di malam hari, menggambarkan suasana yang gelap dan mencekam, persis seperti suasana kematian yang melekat pada jaman itu.

Selanjutnya larik “dan siang terbang mengitari bangkai” Gagak yang seharusnya memakan bangkai itu tidak berani menyentuh bangkainya. Memang bangkai ini sesuatu yang sangat jijik bahkan untuk dimakan oleh seekor gagak, lantas pengarang sebenarnya menggambarkan bangkai sebagai sesuatu yang kotor yang tidak patut untuk didekati.

Dan siang terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh dekat kuil, larik ini menggambarkan suatu hal yang memang sudah di sengaja, sesuatu yang kotor disandingkan di tempat yang suci.

…..

Dewa telah mati di tepi-tepi ini

Hanya ular yang mendesir dekat sumber

Lalu minum dari mulut

Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri

Bumi ini perempuan jalang

Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa

Ke rawa-rawa mesum ini.

(Dewa Telah Mati: Subagio 1967)

Lagi-lagi dewa yang suci disandingkan dengan sesuatu yang kotor, seolah-olah pengarang menggambarkan sesuatu yang sudah tidak dianggap lagi. Dewa adalah tuhan yang tidak dipercaya lagi oleh orang-orang yang bermaksiat. Sehingga bumi ini sangat tepat jika akhirnya disandingkan dengan perempuan jalang. Tempat yang seharusnya mejadi pelantara kebaikan, malah dikotori dengan kemaksiatan orang-orang yang bangga akan dosanya.

Melalui larik “dan siang terbang mengitari bangkai”. Gagak yang seharusnya memakan bangkai sebagai makananya, hanya mengitari tanpa menyentuh. hal itu mengajarkan kita sebuah nilai untuk tidak semua hal kita telan dan konsumsi. Harus ada hal-hal yang disaring jika dirasa tidak perlu untuk dilakukan meskipun itu hal yang menyenangkan. Nilai sosial yang dapat kita ambil adalah jangan merasa bangga atas perbuatan maksiat kita, baik itu dosa diri kita terhadap tuhan, ataupun dosa kita terhadap sesama manusia. Sebagai manusia yang bertuhan kita harus mempunyai moral yang baik terhadap tuhan dan hubungan antarsesama manusia.

Nilai pendidikan yang Subagio gambarkan tercermin dalam larik “Hanya ular yang mendesir dekat sumber, Lalu minum dari mulut, Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri” dalam hal nya cara mendapatkan sesuatu, kita seharusnya mendapatkan hal yang kita inginkan melalui hal baik dan jalan yang baik pula. Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri merupakan gambaran seseorang yang angkuh atas apa yang telah diperbuatnya. Dibalik larik pulgar yang Subagio ciptakan ada hal-hal yang tidak bisa kita telan mentah-mentah. Tidak semua hal kotor dibicarakan melalui bahasa-bahasa yang kasar. Tidak semua hal baik juga dapat terbebas dari hal-hal kotor.

Bumi ini perempuan jalang. Bumi tempat kita berpijak ini seolah-olah disandingkan dengan Wanita jalang. Wanita pelacur yang menggambarkan pornografi dan kemaksiatan di kehidupanya. Seperti kita hidup dalam kotoran dan dosa. Padahal lewat larik “Bumi ini perempuan Jalang” Subagio hanya ingin menggambarkan sebuah fakta yang terjadi di bumi ini, bumi tempat kita berpijak. Subagio menggambarkan orang-orang kotor yang haus akan kekuasaan, harta tahta dan wanita.

Maka andaikan si Dewa ini tidak mati, dunia ini tidak akan menjadi Wanita jalang. Artinya ketika kita tetap teguh pada yang maha kuasa di atas semua yang berkuasa, tidak akan ada wanita jalang (kemaksiatan/dosa). Bagi orang awam yang membaca karya Subagio “Dewa Telah Mati” mungkin hanya akan melihat kevulgaran bahasa yang Subagio pakai, padahal jauh dari itu makna larik yang diciptakan Subagio sangatlah dalam dan realistis. Tidak hanya puisi berjudul “Dewa Telah Mati” karya-karya lain milik Subagio juga tidak bisa dibaca dengan pemahaman orang awam karena kevulgaran bahasa bisa membuat pembaca hanya berspekulasi terhadap kevulgaran itu.


Eksplorasi konten lain dari Literatura Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *